68 Terluka, Polisi dan Pengunjuk Rasa Terlibat Insiden Protes di Serbia

by -11 Views
[keyword]bitcoin[/keyword]

Di tengah ketegangan politik yang semakin meningkat, Vrbas, sebuah kota di Serbia utara, menjadi pusat protes yang menyita perhatian. Pada malam yang penuh gejolak, sekitar 200 pengunjuk rasa berkumpul di depan kantor Partai Progresif Serbia untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka. Aksi demo ini, yang berlangsung tanpa izin, berakhir dengan kekerasan, mengakibatkan 68 orang terluka, termasuk 16 anggota polisi yang berupaya menjaga ketertiban.

Direktur Polisi Dragan Vasiljevic dalam keterangan resminya mengungkapkan bahwa bentrokan antara pengunjuk rasa dan pendukung SNS mulai pecah sekitar pukul 20.00 waktu setempat, yang berlanjut hingga tengah malam. Para demonstran, yang merupakan mahasiswa bersama dengan pendukung oposisi, melemparkan berbagai benda, seperti telur, batu, dan suar, sebagai bentuk protes mereka. Mereka berpendapat bahwa pemerintah yang dipimpin oleh SNS harus memenuhi tuntutan mereka untuk mengadakan pemilihan parlemen lebih awal.

Protes ini bukanlah peristiwa yang terisolasi. Selama beberapa bulan terakhir, demonstrasi telah meletus di berbagai kota besar lainnya di Serbia, termasuk Belgrade, Novi Sad, dan Kragujevac. Demonstran menyuarakan harapan mereka agar pemerintah menetapkan tanggal pemilu parlemen dini, serta meminta pembongkaran tenda-tenda yang didirikan para pendukung presiden di depan gedung parlemen negara. Ultimatum yang diajukan sebelumnya kepada pemerintah mengenai permintaan tersebut telah kedaluwarsa pada 28 Juni, tanpa adanya tanggapan yang memadai dari pihak berwenang.

Menanggapi situasi yang semakin buruk, pemimpin SNS, Milos Vucevic, menyatakan dengan tegas bahwa partai tidak akan membiarkan pengunjuk rasa mengganggu kantor mereka. Ia menyatakan, meskipun jumlah pendukung mereka bisa dibilang lebih sedikit, semangat juang untuk mempertahankan hak dan kepemilikan mereka tidak akan pudar. Pernyataan ini mencerminkan ketegangan dalam politik Serbia yang semakin meluas, dengan ancaman protes yang semakin berdampak pada ketahanan pemerintah.

Vucevic menambahkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa, yang mencakup penggunaan semprotan, batu, dan tongkat, bukanlah hal baru. Ia menyayangkan bahwa pihaknya sering kali disebut sebagai ‘pemecah tulang’ hanya karena membela diri. Dalam pandangannya, tindakan tersebut adalah bentuk pertahanan yang sah terhadap serangan yang mereka terima selama beberapa bulan belakangan.

Di balik aksi-aksi protes ini, terdapat akar penyebab yang lebih dalam. Aktivis oposisi dan mahasiswa menuntut keadilan atas tragedi yang mengakibatkan runtuhnya atap stasiun kereta api pada 1 November 2024, yang menewaskan 15 orang. Banyak yang beranggapan bahwa pemerintah tidak cukup transparan dalam menangani insiden tersebut, yang semakin mempertegas rasa frustrasi dan kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Kritik juga datang dari mantan Wakil Perdana Menteri Serbia, Aleksandar Vulin, yang menyatakan bahwa protes-protes ini diduga merupakan bagian dari upaya intelijen asing untuk memicu ‘revolusi warna’ di Serbia. Pernyataan ini menunjukkan betapa rumitnya situasi politik di sana, di mana banyak pihak terlibat dalam permainan politik yang lebih besar daripada sekadar ketidakpuasan lokal.

Aksi protes di Vrbas dan kota-kota lain menunjukkan bahwa masyarakat Serbia semakin berani mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah. Dengan latar belakang berbagai isu sosial dan politik yang melatarbelakangi demonstrasi ini, suasana ketidakpastian semakin menyelimuti Serbia. Sementara pemerintah berusaha mengendalikan situasi, protes sepertinya menjadi sinyal bahwa rakyat tidak akan tinggal diam, dengan tuntutan akan keadilan dan perubahan yang semakin kuat terasa di udara.