Pada Jumat, 25 Juli 2025, sidang pembacaan vonis terhadap Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hasto Kristiyanto, berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Sebelumnya, pada 18 Juli 2025, dalam sidang pembacaan duplik, Hakim Ketua Rios Rahmanto mengumumkan bahwa vonis akan dibacakan setelah shalat Jumat, tanpa jeda waktu.
Hasto Kristiyanto didakwa atas dua perkara utama: pertama, dugaan perintangan penyidikan terhadap kasus korupsi yang melibatkan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan; dan kedua, dugaan suap terkait proses Pergantian Antarwaktu anggota DPR. Dalam kasus perintangan penyidikan, Hasto diduga memerintahkan Harun Masiku, yang saat itu menjadi buron, untuk merendam telepon genggamnya guna menghilangkan bukti yang relevan dengan penyidikan KPK. Selain itu, Hasto juga diduga mengarahkan orang-orang yang dipanggil KPK untuk tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, sehingga menghalangi proses hukum yang sedang berlangsung.
Dalam kasus suap, Hasto bersama dengan beberapa individu lainnya diduga memberikan uang sebesar 57.350 dolar Singapura kepada Wahyu Setiawan antara tahun 2019 dan 2020. Uang tersebut diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan persetujuan KPU terhadap permohonan PAW calon anggota legislatif dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Selama proses hukum berlangsung, Hasto dan PDI-P secara konsisten menyatakan bahwa kasus ini bermuatan politis dan merupakan bentuk kriminalisasi terhadap partai. Mereka menegaskan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Hasto dalam menghalangi penyidikan atau melakukan tindak pidana korupsi.
Sebelum penahanan, Hasto sempat menulis lima buku selama ditahan di Rumah Tahanan Negara KPK, termasuk buku berjudul “Spiritualitas PDI Perjuangan”. Buku-buku tersebut merupakan hasil perenungan dan refleksi Hasto atas perjuangan tokoh-tokoh bangsa Indonesia.
Sidang pembacaan vonis pada 25 Juli 2025 menjadi momen penting bagi Hasto Kristiyanto dan PDI-P. Meskipun menghadapi tuntutan pidana tujuh tahun penjara dan denda Rp600 juta, partai berharap Majelis Hakim dapat mempertimbangkan fakta-fakta yang ada dan memberikan vonis yang adil. PDI-P juga menegaskan komitmennya untuk selalu mentaati proses hukum dan bersikap kooperatif dengan KPK.
Vonis terhadap Hasto Kristiyanto ini tidak hanya berdampak pada dirinya secara pribadi, tetapi juga berpotensi memengaruhi dinamika politik di Indonesia, khususnya bagi PDI-P yang selama ini dikenal sebagai salah satu partai besar di tanah air. Publik menantikan keputusan Majelis Hakim yang diharapkan dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.