Ketegangan Thailand-Kamboja Picu Ancaman Kekurangan Tuna Kaleng Global

by -10 Views
[keyword]bitcoin[/keyword]

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja telah meningkat drastis, dan situasi ini berpotensi menimbulkan krisis serius dalam pasokan tuna kaleng global. Thailand, sebagai salah satu penguasa utama pasar tuna kaleng, menyuplai hampir 28 persen dari total ekspor tuna kaleng dunia, yang mencapai 1,6 juta ton pada tahun 2023. Ekuador, sebagai eksportir terbesar kedua, hanya menguasai 14 persen, sementara China menyusul dengan 9 persen. Di tengah bersatunya berbagai faktor, ekspor Thailand diperkirakan melonjak 30 persen pada tahun 2024 menjadi 580 ribu ton, meningkat dari 445 ribu ton tahun sebelumnya.

Penting untuk dicatat bahwa Amerika Serikat merupakan konsumen terbesar tuna kaleng Thailand, menyumbang 21 persen dari keseluruhan pembelian. Negara-negara lain seperti Jepang, Australia, dan Libya juga berperan sebagai konsumen penting, sementara Arab Saudi menyumbang 6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh kedua negara dapat memberikan dampak luas tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga di pasar global.

Bagian penting lainnya adalah perdagangan makanan hewan peliharaan, di mana Thailand menempati posisi sebagai eksportir terbesar kedua di dunia dengan nilai pengiriman mencapai 2,7 miliar dolar AS pada tahun 2024. Pangsa pasar ini lebih dari 10 persen dari total perdagangan global. Hanya Jerman yang mengekspor lebih banyak dengan total ekspor makanan hewan peliharaan mencapai 3,3 miliar dolar AS. Di sini, Amerika Serikat juga muncul sebagai pembeli utama, menyerap hampir sepertiga dari total ekspor Thailand di sektor ini, diikuti oleh Jepang, Australia, dan Italia.

Namun, kehadiran Thailand dalam pasar makanan hewan peliharaan Rusia masih terbilang minim, dengan total impor yang hanya mencapai 4,9 juta dolar AS tahun lalu. Kenaikan ketegangan antara dua negara ini bahkan membuat Rusia melarang enam perusahaan Thailand masuk ke pasar mereka pada bulan Maret 2024, menyusul perselisihan yang telah berlangsung lama antara Thailand dan Kamboja mengenai Kuil Preah Vihear, yang merupakan situs Warisan Dunia UNESCO.

Ketegangan yang sudah berlangsung selama beberapa minggu semakin meningkat setelah insiden insiden ranjau darat dan pengusiran diplomatik kedua belah pihak. Pada Kamis lalu, situasi semakin memburuk dengan serangan artileri berat dan roket yang dilancarkan di kawasan kuil perbatasan. Menurut informasi yang beredar, pengeboman itu telah menewaskan sedikitnya 11 warga sipil dan seorang tentara di Thailand.

Di tengah eskalasi ini, pihak berwenang di empat provinsi Thailand yang berbatasan langsung dengan Kamboja melaksanakan langkah evakuasi untuk penduduk setempat. Militer Thailand juga mengerahkan jet tempur F-16 untuk melancarkan serangan udara, dan sebagai respons, Kamboja mengaktifkan peluncur roket BM-21.

Beberapa unggahan di media sosial menunjukkan kerusakan berat akibat serangan artileri terhadap fasilitas umum seperti mini market serta pom bensin di Thailand, menggambarkan dampak langsung dari ketegangan politik yang berujung pada konflik fisik. Dalam konteks yang lebih luas, perkembangan ini memicu kekhawatiran akan implikasi serius tidak hanya bagi ekonomi kedua negara, tetapi juga bagi pasar internasional, terutama di sektor pangan dan komoditas.