Lebih dari 60.000 Warga Thailand Dievakuasi Akibat Bentrokan Perbatasan dengan Kamboja

by -16 Views
[keyword]bitcoin[/keyword]

Bentrokan sengit antara pasukan Thailand dan Kamboja telah memasuki hari ketiga pada 26 Juli 2025, menandai eskalasi konflik paling parah antara kedua negara dalam 13 tahun terakhir. Pertempuran ini telah menyebabkan lebih dari 30 orang tewas dan mengakibatkan lebih dari 130.000 orang mengungsi dari wilayah perbatasan.

Konflik ini bermula pada 23 Juli 2025, ketika seorang tentara Thailand terluka akibat ledakan ranjau di distrik Nam Yuen, Provinsi Ubon Ratchathani. Keesokan harinya, pertempuran bersenjata pecah antara kedua negara, dengan masing-masing pihak mengklaim bertindak untuk membela diri. Kedua belah pihak saling menuduh sebagai pihak yang memulai serangan, memperparah ketegangan yang telah berlangsung sejak Mei 2025.

Pertempuran ini melibatkan penggunaan artileri berat dan tembakan senapan, dengan bentrokan terjadi di berbagai titik sepanjang perbatasan. Kamboja menuduh Thailand melakukan agresi militer yang disengaja dan mendesak kecaman internasional. Sementara itu, Thailand menuduh Kamboja menanam ranjau darat dan memulai serangan, tuduhan yang dibantah oleh Kamboja. Kedua negara juga saling menuduh menggunakan senjata yang dilarang, termasuk amunisi cluster, yang telah memicu kecaman dari berbagai organisasi internasional.

Dampak kemanusiaan dari konflik ini sangat signifikan. Lebih dari 100.000 warga sipil telah dievakuasi dari empat provinsi perbatasan di Thailand, termasuk Buriram, Surin, Sisaket, dan Ubon Ratchathani. Mereka dipindahkan ke hampir 300 tempat penampungan sementara yang didirikan oleh otoritas setempat. Selain itu, lebih dari 10.000 keluarga Kamboja juga telah mengungsi ke wilayah yang lebih aman.

Pemerintah Thailand telah menutup dua pos pemeriksaan perbatasan dengan Kamboja sebagai langkah antisipasi terhadap ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan nasional. Meskipun penutupan ini tidak berdampak pada aktivitas perdagangan, namun telah mengganggu mobilitas warga dan pekerja migran. Sementara itu, Kamboja telah menggelar pertemuan darurat dengan para kepala misi diplomatiknya untuk membahas eskalasi konflik dan mencari solusi diplomatik guna meredakan ketegangan.

Di tengah meningkatnya ketegangan, Malaysia, yang saat ini memegang posisi sebagai Ketua ASEAN, telah menyerukan gencatan senjata segera antara Thailand dan Kamboja. Kamboja telah menyatakan dukungannya terhadap inisiatif ini, sementara Thailand menyatakan kesepakatannya secara prinsip, dengan catatan bahwa kondisi di lapangan harus mendukung pelaksanaan gencatan senjata tersebut. Namun, hingga saat ini, pertempuran masih berlanjut, dan upaya diplomatik untuk mencapai gencatan senjata yang efektif masih menghadapi tantangan signifikan.

Pemerintah Indonesia juga telah menyatakan keprihatinannya terhadap situasi ini dan meyakini bahwa kedua negara akan kembali ke jalur damai untuk menyelesaikan perbedaan mereka, sejalan dengan prinsip-prinsip yang tercermin dalam Piagam ASEAN dan Traktat Persahabatan dan Kerja Sama. Kementerian Luar Negeri Indonesia juga terus memantau keselamatan dan keberadaan warga negara Indonesia yang tinggal di daerah terdampak.

Sementara itu, upaya evakuasi dan bantuan kemanusiaan terus dilakukan oleh otoritas Thailand. Tentara Kerajaan Thailand telah mendirikan enam dapur umum dan mengerahkan dua dapur lapangan bergerak untuk menyediakan makanan bagi para pengungsi. Selain itu, unit-unit sukarelawan juga dikerahkan untuk berpatroli dan melindungi properti warga yang dievakuasi, guna meredakan kekhawatiran mereka tentang barang-barang pribadi.

Konflik ini berakar pada sengketa wilayah yang telah berlangsung lama antara Thailand dan Kamboja, terutama terkait dengan area di sekitar kuil kuno seperti Ta Moan Thom dan Preah Vihear. Meskipun Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa Preah Vihear menjadi milik Kamboja pada tahun 1962, ketegangan terus berlanjut, terutama setelah upaya Kamboja untuk memasukkan kuil tersebut ke dalam daftar Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2008. Kamboja baru-baru ini meminta Mahkamah Internasional untuk memediasi sengketa ini, sementara Thailand lebih memilih penyelesaian melalui dialog bilateral dan menolak yurisdiksi Mahkamah Internasional.

Dengan meningkatnya jumlah korban dan dampak kemanusiaan yang semakin parah, dunia internasional mendesak kedua negara untuk segera mencapai gencatan senjata dan mencari solusi damai guna mengakhiri konflik ini. Upaya diplomatik terus dilakukan, namun tantangan untuk mencapai perdamaian yang langgeng tetap besar, mengingat kompleksitas sengketa wilayah dan dinamika politik internal kedua negara.