Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja kembali memanas pada 24 Juli 2025, setelah bentrokan bersenjata yang menewaskan banyak korban dari kedua belah pihak, termasuk warga sipil. Ketegangan ini berakar dari sengketa wilayah yang telah berlangsung lama, terutama terkait dengan situs-situs bersejarah seperti Kuil Preah Vihear dan Prasat Ta Muen Thom.
Pada 28 Mei 2025, insiden kecil terjadi di perbatasan, di mana seorang tentara Kamboja tewas dalam baku tembak singkat dengan pasukan Thailand. Meskipun upaya diplomatik dilakukan untuk meredakan ketegangan, situasi semakin memburuk pada 23 Juli 2025, ketika sebuah ranjau darat meledak dan melukai lima tentara Thailand di Provinsi Ubon Ratchathani. Thailand menuduh Kamboja menanam ranjau tersebut, sementara Kamboja membantahnya dan menuduh Thailand melakukan provokasi.
Keesokan harinya, bentrokan bersenjata pecah di sepanjang perbatasan, dengan kedua negara saling menuduh memulai agresi. Pertempuran ini melibatkan penggunaan artileri berat, tank, dan serangan udara, menyebabkan lebih dari 30 orang tewas dan lebih dari 130.000 orang mengungsi dari kedua belah pihak. Kedua negara menutup pos-pos perbatasan dan mengerahkan pasukan tambahan ke wilayah sengketa.
Dalam upaya mediasi, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menghubungi pemimpin kedua negara dan mendesak mereka untuk segera melakukan pembicaraan gencatan senjata. Malaysia, yang saat itu memegang kepemimpinan ASEAN, juga menawarkan bantuan sebagai mediator. Sementara itu, Dewan Keamanan PBB mengadakan pertemuan darurat untuk membahas situasi tersebut dan menyerukan penyelesaian damai.
Indonesia, sebagai negara tetangga dan anggota ASEAN, mengikuti perkembangan situasi dengan cermat. Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan keyakinannya bahwa Thailand dan Kamboja akan menyelesaikan perbedaan mereka melalui jalur damai, sesuai dengan prinsip-prinsip Piagam ASEAN dan Traktat Persahabatan dan Kerja Sama. Indonesia juga memantau keselamatan warganya yang terdampak oleh konflik tersebut.
Sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja berakar dari masa kolonial Prancis pada awal abad ke-20, ketika peta perbatasan disusun pada tahun 1907. Setelah Kamboja merdeka pada tahun 1953, wilayah-wilayah yang belum ditetapkan secara jelas menjadi sumber sengketa. Thailand lebih memilih penyelesaian melalui negosiasi bilateral, sementara Kamboja mengandalkan Mahkamah Internasional, yang yurisdiksinya tidak diakui oleh Thailand.
Meskipun upaya diplomatik terus dilakukan, ketegangan di perbatasan tetap tinggi. Kedua negara harus berkomitmen untuk menyelesaikan sengketa ini melalui dialog dan menghormati hukum internasional guna mencegah eskalasi lebih lanjut yang dapat merugikan kedua belah pihak dan stabilitas kawasan.