Di Jepang, semakin banyak ayah yang mengambil cuti merawat anak, dengan angka terbaru mencapai 40,5 persen pada tahun 2024. Ini merupakan rekor tertinggi dalam sejarah, menunjukkan lonjakan signifikan sebesar 10,4 poin persentase dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Riset yang dilakukan oleh pemerintah ini mencakup periode survei dari satu tahun hingga 1 Oktober 2024, dan ini merupakan tahun ke-12 berturut-turut peningkatan dalam pengambilan cuti ayah di negara tersebut.
Salah satu faktor pendorong utama dari peningkatan angka tersebut adalah program cuti ayah yang baru diperkenalkan pada tahun 2022. Program ini dirancang untuk memberikan kemudahan bagi para ayah dalam mengambil cuti, berbeda dengan kebijakan yang ada sebelumnya yang seringkali dianggap rumit dan kurang mendukung. Target pemerintah yang ingin mencapai 50 persen ayam yang mengambil cuti ayah pada 2025 tampaknya semakin realistis jika tren ini terus berlanjut.
Namun, meskipun ada peningkatan, masih terdapat variasi tingkat pengambilan cuti berdasarkan ukuran perusahaan dan jenis industri. Secara keseluruhan, 86,6 persen ibu yang baru bersalin mengambil cuti melahirkan, jumlahnya lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan ayah. Angka ini menunjukkan ketimpangan yang jelas dalam sudut pandang dan dukungan terhadap pengambilan cuti merawat anak dari kedua orang tua. Banyak pria masih merasa ragu untuk mengambil cuti karena khawatir akan menambah beban kerja kolega mereka.
Seorang pejabat dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan menyatakan bahwa menciptakan budaya kerja yang menghormati keinginan para pekerja untuk istirahat merupakan hal yang penting. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan dan masyarakat Jepang dalam upaya untuk menciptakan iklim kerja yang lebih seimbang dan bersahabat bagi kedua orang tua.
Program pascakelahiran yang ditetapkan di Jepang memungkinkan para ayah untuk mengambil cuti hingga empat minggu dalam waktu delapan minggu setelah kelahiran anak. Ini adalah tambahan dari cuti orang tua standar yang berlaku hingga anak berusia satu tahun. Melalui program ini, diharapkan anak-anak dapat memperoleh perhatian dan perawatan yang optimal dari kedua orang tua, walaupun masih banyak perusahaan yang belum sepenuhnya mendukung kebijakan ini.
Dilihat dari distribusi perusahaan, 55,3 persen karyawan di perusahaan dengan 100 hingga 499 karyawan mengambil cuti ayah. Angka ini sedikit lebih rendah di perusahaan dengan lebih dari 500 karyawan, yaitu 53,8 persen. Sebaliknya, karyawan di perusahaan kecil dengan 5 hingga 29 pekerja hanya mencapai 25,1 persen yang mengambil cuti. Di perusahaan yang memiliki 30 hingga 99 karyawan, angka tersebut sedikit meningkat menjadi 35,8 persen. Hal ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh karyawan di usaha kecil dan menengah dalam mengambil cuti, di mana seringkali tekanan untuk terus bekerja sangat tinggi.
Tingkat pengambilan cuti ayah juga berbeda-beda berdasarkan sektor industri. Misalnya, sektor properti, jasa penyewaan barang, jasa gaya hidup, dan hiburan menunjukkan angka di bawah 20 persen. Sementara itu, sektor keuangan dan asuransi memiliki angka jauh lebih tinggi, mencapai di atas 60 persen. Ini menggambarkan bahwa budaya perusahaan dan kebijakan setiap sektor mempengaruhi keputusan para ayah dalam mengambil cuti.
Dengan total 6.300 perusahaan yang disurvei, respon yang diterima mencapai 3.383. Ini adalah indikator penting dalam memahami bagaimana kebijakan cuti ayah dapat diadaptasi dan diterapkan dalam berbagai konteks perusahaan. Meskipun ada kemajuan yang jelas, kesenjangan dalam pengambilan cuti antara pria dan wanita masih menjadi isu yang perlu diperhatikan untuk mencapai keseimbangan dalam tanggung jawab keluarga.
Komitmen untuk mendorong lebih banyak ayah mengambil cuti merawat anak sangatlah penting, tidak hanya demi kesejahteraan keluarga tetapi juga untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan seimbang. Dalam konteks ini, langkah-langkah yang lebih konkret dan kebijakan yang mendukung akan menjadi kunci untuk menciptakan budaya kerja yang lebih baik di Jepang, serta memastikan bahwa semua orang tua dapat memberikan perhatian dan cinta yang layak bagi anak-anak mereka tanpa merasa terbebani oleh tanggung jawab pekerjaan.