Di tengah kondisi pasar yang sepi pengunjung, para pedagang di Pasar Taman Puring, Jakarta Selatan, tetap bertahan menjalankan usaha mereka. Salah satu dari mereka adalah Teguh, seorang pedagang jam antik berusia 49 tahun. Teguh tidak hanya mengandalkan keahlian dalam menilai keaslian jam, tetapi juga memiliki pengalaman dalam memperbaiki dan menjual produk tersebut. Keterampilan ini diturunkan dari sang ayah, yang juga merupakan pedagang di pasar yang sama. Walau pengunjung baru sangat jarang, Teguh masih memiliki pelanggan setia yang selalu datang. “Banyak orang-orang lama yang sudah kenal, mereka sudah bisa dibilang pelanggan setia,” ujarnya dengan penuh harapan.
Kisah serupa juga terdengar dari Cepi, seorang pedagang sepatu berusia 25 tahun. Meski menghadapi tantangan yang sama, Cepi memilih untuk beradaptasi dengan menjual produknya secara daring. Dia menyadari pentingnya inovasi di tengah kesulitan. “Saya butuh juga untuk sehari-hari. Jual online ini membantu,” ungkapnya. Cepi merindukan masa-masa ramai saat pengunjung datang berbondong-bondong, tetapi dorongan untuk bertahan hidup mendorongnya untuk terus berjualan.
Dengan tekad yang kuat, Cepi berharap pasar akan dibangun kembali, agar ia bisa kembali menjual dengan baik. Dia mengenang masa lalu ketika usahanya di Pasar Taman Puring membantunya membeli tanah. “Kalau dibangun lagi, saya pasti akan terus jualan. Dulu jualan di sini sudah sampai bisa beli tanah,” kenangnya. Semangat Cepi mencerminkan harapan banyak pedagang yang merasa terikat emosional dengan lokasi usaha mereka, meski harus menghadapi tantangan berat.
Syaiful, seorang pedagang sepatu lainnya, juga memiliki rencana untuk meneruskan usaha keluarganya. Ia berharap toko sepatu yang telah dijalankannya selama bertahun-tahun dapat diwariskan kepada anaknya yang segera lulus kuliah. “Saya tanya ke dia mau kerja apa, dan dia bilang mau jualan juga,” ceritanya sambil tersenyum. Dengan tekad yang sama, Syaiful ingin anaknya tidak hanya meneruskan usaha keluarga, tetapi juga memperluas jangkauan melalui platform online. “Sekarang kan jualan online jadi penting, jadi anak saya harus belajar juga,” tambahnya.
Suasana di Pasar Taman Puring memang menggambarkan realitas yang dihadapi banyak pedagang kecil di Jakarta. Mungkin sepinya pengunjung menjadi tantangan, tetapi semangat untuk bertahan dan beradaptasi adalah hal yang lebih berharga. Para pedagang ini tetap percaya akan masa depan usaha mereka dan tetap setia pada warisan yang telah ditinggalkan oleh generasi sebelumnya.
Kebakaran yang terjadi di pasar tersebut telah menambah beban emosional bagi para pedagang. Namun, mereka tidak membiarkan masa lalu menghentikan langkah maju mereka. Melalui kerja keras dan semangat beradaptasi, mereka berharap bisa melewati masa sulit ini. Beberapa mengatakan, mereka akan terus berjuang untuk menjaga usaha yang telah menjadi bagian dari hidup mereka.
Dari Teguh, Cepi, hingga Syaiful, semua memiliki kisah yang sama—setiap usaha bukan hanya sekadar bisnis, tetapi juga warisan, harapan, dan perjuangan untuk masa depan. Poin ini semakin mempertegas bahwa pasar bukan hanya tempat untuk bertransaksi, tetapi juga sebagai ruang sosial yang meski sepi, tetap menyimpan banyak kenangan dan cita-cita.
Kepada generasi muda, pesan mereka jelas: meski keadaan sulit, jika ada ketekunan dan inovasi, peluang untuk sukses tetap ada. Dan suatu saat, ketika pasar tersebut dibangun kembali, para pedagang ini berharap dapat kembali berdiri di tempat yang sama, melanjutkan usaha mereka dan menjaga tradisi yang telah ada selama bertahun-tahun. Semua itu dilakukan bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.