Beijing mencermati hubungan antara dua kekuatan besar, China dan Amerika Serikat, yang dalam beberapa tahun terakhir berjalan di jalur persaingan dan intrik. Meskipun kedua pemimpin telah melakukan pertemuan dan komunikasi telefon, ketegangan tetap terasa. Namun, patut diingat bahwa di masa lalu, kedua negara pernah menjalin hubungan yang akrab, bekerja sama untuk menghadapi ancaman bersama, khususnya pada periode awal Perang Dunia II.
Pada pertengahan 1930-an, China berada di dalam gejolak perang saudara yang dipimpin oleh dua kelompok besar: tentara Nasionalis yang dikomandoi oleh Chiang Kai-shek dan pasukan Komunis yang dipimpin oleh Mao Zedong. Ketidakstabilan ini diperparah oleh perpecahan yang terjadi di kalangan para panglima perang yang menguasai berbagai wilayah di negara tersebut. Saat situasi semakin memburuk, pada tahun 1931, tentara Kekaisaran Jepang melancarkan invasi ke Manchuria, daerah yang kini menjadi bagian dari provinsi Liaoning, Jilin, dan Heilongjiang. Akibat dari invasi tersebut, pasukan Nationalis di bawah Chiang Kai-shek terpaksa mundur lebih jauh ke wilayah selatan.
Dengan keadaan yang semakin genting, pada tahun 1932, satu tim militer dari Amerika Serikat memutuskan untuk membantu China dengan mendirikan sekolah pelatihan penerbangan pertama di negara itu. Dipimpin oleh Kolonel Jack Jouett, misi tersebut berusaha menggerakkan perwira cadangan Angkatan Udara AS untuk mengajarkan dasar penerbangan kepada kadet-kadet Tiongkok. Namun, seperti banyak usaha lain yang berkaitan dengan China pada masa itu, misi ini terhambat oleh politik internal dan mengalami kegagalan.
Di tengah situasi yang penuh kekacauan, muncul sosok penting yang akan memainkan peran krusial: Claire L. Chennault. Seorang kapten yang telah pensiun dari Angkatan Udara AS, Chennault bukan hanya seorang pilot veteran, tetapi juga memiliki reputasi sebagai ahli dalam penerbangan aerobatik yang terkoordinasi. Setelah berbulan-bulan bernegosiasi, ia akhirnya mendapat kontrak dua tahun dari Angkatan Udara Nasionalis China untuk melakukan tinjauan mendalam terhadap operasional mereka, dengan masa percobaan tiga bulan pertama untuk melakukan penilaian yang komprehensif.
Chennault datang ke China pada tahun 1937 dan langsung terjun ke dalam situasi yang sangat menantang. Banyak yang melihat kedatangannya sebagai harapan baru bagi pasukan Nationalis yang tengah berjuang untuk mempertahankan kedaulatan negara mereka. Dengan pengalaman yang dimilikinya, Chennault segera merancang program pelatihan yang tidak hanya fokus pada aspek teknis penerbangan, tetapi juga membangun semangat juang di antara para pilot muda Tiongkok.
Selama masa kerjanya, teknik dan strategi yang diperkenalkan oleh Chennault menjadi andalan bagi Angkatan Udara Nasionalis China, membantu mereka dalam menghadapi serangan-serangan dari para penginvasi Jepang yang tidak kenal kompromi. Chennault pun dikenal sebagai pendiri “Flying Tigers,” sebuah skuadron sukarelawan Angkatan Udara AS yang membantu melindungi China dari serangan Jepang. Melalui kerja sama ini, kedua negara yang waktu itu terlibat dalam konflik global menunjukkan bahwa di tengah tantangan, aliansi dapat dibentuk dan diperkuat.
Kisah ini membawa kita menengok kembali pada masa ketika dua kekuatan besar ini, meskipun memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda, dapat bersatu demi tujuan bersama. Akan tetapi, perjalanan sejarah menunjukkan bahwa situasi dapat berubah sewaktu-waktu. Hari ini, hubungan antara China dan AS kembali dikelilingi oleh ketegangan, menimbulkan pertanyaan apakah kedua negara akan menemukan kembali jalur kerjasama di masa depan atau terjerumus lebih dalam ke dalam persaingan yang tidak berujung.
Sejarah memang seringkali berulang, dan dengan memahami masa lalu, kita bisa belajar dari dinamika hubungan internasional yang kompleks ini, menciptakan harapan untuk masa depan yang lebih baik antara dua negara besar yang pernah bersatu melawan musuh yang sama.