Di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban Jakarta, sebuah langkah kebijakan terbaru dari pemerintah memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Kebijakan yang mengharuskan pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, serta hotel, untuk membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait, dinilai oleh sebagian warga sebagai sesuatu yang perlu ditinjau kembali.
Salah satu suara yang mencuat datang dari Jeni, seorang pengunjung kafe di Tebet, Jakarta Selatan. Jeni, yang berusia 29 tahun, menyampaikan keprihatinannya mengenai dampak kebijakan ini terhadap pengalaman pelanggan di kafe. Menurutnya, apabila kafe-kafe menghadapi beban tambahan berupa biaya royalti, mereka mungkin akan memilih untuk tidak memutar lagu, yang dapat mengurangi suasana dan pengalaman bersantai pelanggan yang datang. “Ya, sebagai pemerintah, kalau mau buat kebijakan, dipertimbangkan lah. Masa putar lagu di kafe aja harus bayar. Kan fungsinya lagu buat didengarin,” ungkapnya. Nada keprihatinan di suara Jeni menggambarkan sebuah kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa berujung pada hilangnya elemen penting dalam pengalaman bersosialisasi di kafe.
Pengguna lain di media sosial juga menunjukkan pandangan serupa, dengan mempersoalkan apakah kewajiban royalti ini justru akan membebani pelaku usaha kecil. Banyak pemilik kafe dan restoran yang sudah berjuang di masa sulit akibat dampak pandemi, dan kini mereka harus menghadapi tantangan baru ini. Jika biaya royalti terus bertambah, dampaknya bisa berakibat pada penyesuaian harga menu atau bahkan mengurangi jumlah karyawan untuk mengimbangi pengeluaran.
Di sisi lain, pihak yang mendukung kebijakan ini berargumen bahwa pencipta musik berhak mendapatkan imbalan atas karya yang mereka ciptakan. Mereka menyatakan bahwa royalti merupakan bentuk penghargaan terhadap karya seni dan dapat membantu mendukung industri musik lokal. Namun, ada pertanyaan besar tentang bagaimana kebijakan ini bisa diterapkan secara adil, terutama bagi pelaku usaha kecil yang mungkin tidak memiliki margin keuntungan yang besar.
Dalam konteks yang lebih luas, dampak dari kebijakan ini bukan hanya pada kafe atau tempat makan, tetapi juga merambah ke sektor lain. Pusat kebugaran dan hotel yang biasanya memutar musik untuk meningkatkan atmosfer akan terpengaruh, dan ini bisa mengubah cara orang menikmati layanan di tempat-tempat tersebut. Dengan pengalaman mendengarkan musik dipertaruhkan, banyak yang meragukan apakah tujuan baik dari kebijakan ini bisa tercapai tanpa mengorbankan semangat kreativitas dan kebebasan dalam menikmati musik.
Selanjutnya, banyak yang berharap pemerintah dapat mencari solusi yang berimbang, yang akan menguntungkan semua pihak yang terlibat. Mungkin ada baiknya jika pemerintah mempertimbangkan sistem royalti yang lebih fleksibel, yang dapat membantu pelaku usaha kecil untuk tetap bisa memutar musik tanpa harus terbebani kewajiban yang berat.
Di tengah perdebatan ini, satu hal yang jelas adalah bahwa musik selalu memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari, menjadi bagian dari pengalaman sosial, dan menciptakan momen-momen berharga. Tantangan sekarang adalah bagaimana menjaga keberlangsungan itu sambil tetap menghargai hak para pencipta yang telah memberikan warna pada hidup kita melalui karya-karya mereka. Kebijakan akan memainkan peran penting dalam proses ini, dan respons dari masyarakat seharusnya menjadi acuan bagi penentu kebijakan untuk melakukan penyesuaian yang pintar dan penuh pertimbangan.