Wamenlu RI Dorong Negara Berkembang Rumuskan Metode Penetapan Harga Karbon

by -15 Views
[keyword]bitcoin[/keyword]

Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Arif Havas Oegroseno, menekankan pentingnya bagi negara-negara berkembang untuk mengembangkan metodologi dan pendekatan ilmiah dalam menentukan harga penyerapan karbon. Hal ini disampaikan dalam sambutan pembukaannya pada simposium bertajuk “Menjelajahi Global Selatan: Epistemologi, Jalur Pembangunan, dan Jaringan Riset” yang diadakan di Jakarta pada hari Kamis. Havas merasa perlu adanya kolaborasi antar ahli, profesor, dan akademisi dari negara-negara berkembang untuk menyusun metode perhitungan penyerapan karbon yang bisa disepakati bersama, yang kemudian bisa dibahas di level pemerintahan.

Menurut Havas, pengembangan standar lokal adalah vital agar negara berkembang tidak bergantung pada penentuan standar oleh pihak luar. Ia menegaskan bahwa melalui upaya ini, para pemerintah, baik yang berada di negara maju maupun negara berkembang, dapat menetapkan standar untuk produk yang dihasilkan di negara masing-masing. Dengan cara ini, setiap negara memiliki otonomi dalam menentukan nilai dari sumber daya yang mereka miliki.

Dalam percakapan tersebut, Havas mengangkat contoh penghitungan harga karbon biru, yang berkaitan dengan ekosistem pesisir dan laut. Ia menjelaskan bahwa dalam diskusinya dengan para ahli dari berbagai belahan dunia mengenai penetapan harga ini, terdapat ketidakjelasan yang perlu dijernihkan, terutama karena komponen karbon biru bervariasi di setiap negara. Havas mengakui bahwa tidak ada metode tunggal yang bisa diterapkan untuk menghitung penyerapan karbon biru serta penetapan harganya. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan yang dihadapi dan pentingnya kerjasama lintas negara untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.

Lebih jauh lagi, Havas mengupas tantangan yang dihadapi negara berkembang, termasuk dalam hal perdagangan. Ia mencatat bahwa banyak negara produsen kopi, misalnya, masih terjebak dalam ketidakmampuan untuk menentukan harga produk secara mandiri. Akibatnya, harga yang ditentukan oleh pihak luar justru mengakibatkan ketidakadilan bagi para petani dan produsen lokal. Dalam pandangannya, negara-negara berkembang perlu berjuang untuk membangun standar harganya sendiri, sesuai dengan potensi dan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki.

Simposium ini berada dalam rangkaian PARETO 2025, sebuah forum tahunan yang diselenggarakan oleh organisasi yang berfokus pada penelitian tata kelola pemerintahan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam acara ini, para pemangku kepentingan dari berbagai negara di Asia, Afrika, dan Timur Tengah berkumpul untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan. Dihadiri oleh perwakilan dari negara-negara BRICS dan ASEAN, simposium ini bertujuan memperkuat solidaritas dan kerja sama antara negara-negara di belahan dunia Selatan, yang sering kali dihadapkan pada tantangan serupa.

Kegiatan ini menjadi platform yang penting untuk mendorong dialog mengenai solusi yang dapat diimplementasikan, serta membangun kapasitas ilmiah dan penelitian di negara-negara berkembang. Dalam era perubahan iklim yang melanda dunia saat ini, kolaborasi antar negara menjadi sangat penting untuk menciptakan dampak yang positif dan berkelanjutan.

Selaras dengan visi ini, Havas mendorong agar semua pihak berkomitmen dalam upaya pengembangan metode perhitungan yang relevan dan dapat diterima secara luas. Ini adalah langkah penting untuk mengarahkan kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan di sektor yang berkaitan dengan lingkungan dan pengembangan ekonomi.

Melalui simposium ini, Harapannya, akan lahir inovasi dan metode baru yang tak hanya bisa diadaptasi oleh negara-negara berkembang, tetapi juga mampu memberikan kontribusi berarti bagi perdebatan global mengenai pengurangan emisi dan pengelolaan sumber daya alam. Agar tidak hanya menjadi konsumen, negara-negara ini diharapkan dapat berperan aktif dalam penetapan standar yang akan memudahkan mereka dalam memasarkan produk-produk mereka di pasar global. Semoga ke depannya, negara-negara berkembang dapat mengandalkan kemampuan mereka untuk mandiri dalam menetapkan nilai dari hasil bumi mereka, demi kesejahteraan rakyat dan lingkungan.