Dalam dunia otomotif saat ini, jarak tempuh menjadi salah satu aspek krusial yang sering kali diandalkan oleh produsen mobil listrik untuk menarik minat konsumen. Namun, sebuah penelitian terbaru mengungkapkan bahwa klaim jarak tempuh yang biasanya dicantumkan pada spesifikasi mobil listrik kadang tak mencerminkan kenyataan di lapangan. Di Australia, sebuah badan pemerintah melakukan pengujian terhadap berbagai brand mobil listrik dan menemukan bahwa jarak tempuh yang tercatat dalam kondisi nyata jauh lebih pendek dibandingkan dengan klaim yang diajukan oleh para pabrikan.
Setiap mobil listrik yang ada di pasaran umumnya memiliki informasi mengenai kapasitas baterai dan estimasi jarak tempuh yang bisa dicapai dengan pengisian baterai penuh. Saat ini, terdapat beberapa metode yang sering digunakan untuk mengukur jarak tempuh ini, di antaranya adalah WLTP, NEDC, dan CLTC. Khusus di Indonesia, seringkali WLTP menjadi rujukan utama.
Australian Automobile Association, yang didanai pemerintah Australia, baru-baru ini melaksanakan serangkaian pengujian untuk mengevaluasi bagaimana klaim jarak tempuh baterai mobil listrik dapat divalidasi. Setelah melakukan uji coba, ditemukan bahwa semua kendaraan yang diuji menunjukkan hasil jarak tempuh yang lebih pendek dibandingkan dengan klaim pabrikan, dengan selisih yang bervariasi antara 5% hingga 23%. Temuan ini menunjukkan bahwa konsumen perlu lebih waspada terhadap informasi yang diberikan oleh produsen mengenai performa mobil listrik, terutama soal jarak tempuh.
Salah satu kendaraan yang diuji adalah Tesla Model 3 dari tahun 2024. Mobil ini diklaim mampu menempuh jarak hingga 513 km dalam sekali pengisian. Namun, hasil pengujian menunjukkan bahwa kendaraan ini hanya bisa melaju sejauh 441 km. Temuan serupa juga terjadi pada Smart #3, yang seharusnya mampu menempuh jarak hingga 455 km dengan penggunaan energi tertentu. Namun, dalam kondisi nyata, mobil ini hanya dapat bertahan sejauh 432 km, dengan konsumsi energi lebih tinggi dari yang diiklankan.
Pengujian ini dilakukan di berbagai lokasi, termasuk sirkuit, jalan tol, dan pemukiman di sekitar Geelong, negara bagian Victoria. Metodologi pengujian yang beragam ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai performa sebenarnya dari kendaraan listrik yang ada di pasaran. Dengan semakin banyak kendaraan listrik yang diperkenalkan di pasar, konsumen kini menjadi lebih kritis dalam memahami pernyataan-pernyataan mengenai jarak tempuh yang diajukan oleh para produsen.
Hal menarik lainnya adalah bahwa pengujian yang dilakukan oleh AAA tidak hanya terbatas pada kendaraan listrik, tetapi juga mencakup kendaraan berbahan bakar fosil. Hasil pengujian pada kendaraan berbahan bakar bensin dan solar menunjukkan bahwa 77% dari kendaraan yang diuji memiliki konsumsi energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan klaim pabrikan mereka. Ini berarti bahwa kendaraan berbahan bakar fosil juga mengalami perbedaan performa yang signifikan dalam kondisi nyata, menjadi pertanda bahwa tidak hanya mobil listrik yang perlu diperhatikan konsumen dari segi spesifikasi jarak tempuh dan konsumsi energi.
Pernyataan dari Michael Bradley, Managing Director AAA, cukup mencolok. Ia menyatakan bahwa dengan semakin banyaknya kendaraan listrik yang masuk ke pasar Australia, konsumen kini memiliki peluang untuk lebih memahami karakteristik dan kemampuan jarak tempuh dari baterai pada kendaraan tersebut. Hal ini tentu menjadi langkah positif bagi konsumen untuk menghindari kekecewaan, terutama setelah melakukan pembelian.
Melalui pengujian yang lebih mendalam ini, muncul harapan bahwa transparansi dalam informasi mengenai jarak tempuh kendaraan dapat diperbaiki. Konsumen memerlukan data yang akurat agar dapat membuat keputusan pembelian yang lebih baik. Dengan demikian, industri otomotif diharapkan dapat berinovasi, tak hanya dengan menciptakan kendaraan yang ramah lingkungan, tetapi juga dengan menjamin bahwa klaim yang diberikan sesuai dengan apa yang bisa dihasilkan di lapangan.