Rindu Rumah Wajar Dirasakan Siswa dan Pekerja Migran, Kata Wamen P2MI

by -14 Views
[keyword]bitcoin[/keyword]

Di tengah kesibukan Kota Jakarta, situasi di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 6 Sentra Handayani menyoroti isu emosional yang sering kali terabaikan, yaitu rasa rindu akan rumah atau yang biasa disebut homesick. Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Christina Aryani, menjelaskan bahwa perasaan tersebut bukan hanya dialami oleh siswa di sekolah ini, tetapi juga oleh banyak pekerja migran yang terpaksa meninggalkan tanah air demi mencari kehidupan yang lebih baik.

Christina menyampaikan bahwa homesickness adalah pengalaman yang umum dan wajar, terutama bagi mereka yang merantau. “Ketika seseorang meninggalkan rumah untuk waktu yang lama, perasaan rindu itu akan muncul dengan sendirinya. Ini adalah bagian dari proses penyesuaian,” ungkapnya saat berkunjung ke sekolah tersebut. Menurutnya, siswa yang belajar di lingkungan yang berbeda sering kali merasakan kehilangan, karena mereka dipisahkan dari keluarga, teman, dan budaya mereka sendiri.

Di Sekolah Rakyat, yang berfokus pada pendidikan anak-anak dari kalangan kurang mampu, perasaan ini bisa menjadi tantangan yang besar. Banyak siswa yang datang dari latar belakang keluarga dengan satu atau kedua orang tua yang bekerja di luar negeri. Ini membuat situasi mereka semakin terasa, karena mereka tidak hanya merasakan kerinduan fisik, tetapi juga emosional akibat ketidakhadiran orang tua.

Christina menambahkan, pentingnya memberikan dukungan sosial dan emosional bagi anak-anak ini. “Kami harus memastikan bahwa mereka mendapatkan perhatian yang cukup dan merasa diterima di lingkungan baru mereka. Dukungan dari guru dan teman sebaya sangat krusial dalam mengatasi perasaan homesick ini,” katanya. Dia mengajak semua pihak untuk lebih peka terhadap keadaan siswa dan memberikan ruang bagi mereka untuk berbicara tentang perasaan dan harapan mereka.

Lebih jauh lagi, dalam upaya untuk mengurangi dampak negatif dari homesickness, Sekolah Rakyat berupaya menciptakan lingkungan yang lebih inklusif. Melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan program peningkatan diri, siswa dapat terlibat dan berinteraksi satu sama lain, yang pada gilirannya membantu mengurangi rasa kesepian yang mereka alami. Kegiatan ini juga berfungsi sebagai platform untuk mengekspresikan diri, di mana para siswa bisa berbagi cerita dan pengalaman yang mereka hadapi ketika merantau jauh dari rumah.

Pentingnya menjaga komunikasi dengan keluarga menjadi salah satu solusi yang disarankan oleh Christina. Ia berkata, “Menggunakan teknologi seperti video call dapat membantu anak-anak tetap terhubung dengan orang tua mereka. Ini bisa mengurangi rasa kerinduan yang mereka rasakan.” Dengan berinteraksi secara rutin dengan keluarga, diharapkan siswa dapat merasa lebih dekat meskipun jarak fisik memisahkan mereka.

Christina juga menyoroti peran guru dalam membantu siswa mengatasi perasaan homesick. “Para pendidik harus dilatih untuk mengenali tanda-tanda perasaan tersebut dan dapat memberikan bimbingan yang tepat. Dengan pendekatan yang empatik, guru dapat menciptakan ruang di mana siswa merasa aman untuk berbagi pengalaman mereka,” tambahnya.

Dalam beberapa tahun ke depan, Christina yakin akan adanya peningkatan kesadaran di masyarakat mengenai perasaan homesick ini, baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat umum. “Kami berharap bisa mengenalkan program-program yang lebih relevan dan memberikan dukungan kepada anak-anak dan pekerja migran yang merantau,” pungkasnya dengan optimisme.

Dengan perhatian dan dukungan yang tepat, diharapkan anak-anak ini dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik, sehingga pengalaman mereka di Sekolah Rakyat tidak hanya menjadi proses pendidikan, tetapi juga perjalanan emosional yang mendewasakan mereka. Setiap kisah homesick bisa menjadi langkah awal menuju pengertian dan persatuan, baik di dalam keluarga maupun dalam masyarakat yang lebih luas.