Pada Sabtu, 9 Agustus 2025, Komite Menteri yang dibentuk oleh Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Arab dan Islam terkait Gaza, bersama dengan 23 negara anggota, Liga Arab, dan Organisasi Kerja Sama Islam, secara bersama-sama mengeluarkan pernyataan yang mengecam keras dan menolak tegas rencana Israel untuk memberlakukan kendali militer penuh atas Jalur Gaza.
Pernyataan bersama yang dirilis oleh kementerian luar negeri negara-negara tersebut, antara lain Mesir, Palestina, Qatar, Yordania, Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Yaman, Sudan, Libya, Mauritania, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, Chad, Djibouti, Somalia, Turkiye, dan Gambia, menyebut rencana Israel itu sebagai “eskalasi berbahaya dan tidak dapat diterima, pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional, dan upaya untuk memperkuat pendudukan ilegal serta memaksakan fakta di lapangan menggunakan kekuatan, bertentangan dengan legitimasi internasional.”
Pernyataan tersebut memperingatkan bahwa tindakan yang diumumkan oleh Israel adalah “kelanjutan dari pelanggaran serius yang dilakukannya, termasuk pembunuhan dan kelaparan, upaya relokasi paksa dan aneksasi wilayah Palestina, serta tindakan terorisme oleh pemukim, yang merupakan kejahatan yang dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Menurut pernyataan tersebut, untuk pertama kalinya Yunani dan Italia ikut berpartisipasi dalam operasi udara tersebut, bekerja sama dengan Uni Emirat Arab, Yordania, Jerman, dan Belanda.
Israel melancarkan operasi militer berskala besar di Gaza pada 7 Oktober 2023, menyusul serangan Hamas ke Israel selatan yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan mengakibatkan penahanan sandera, menurut otoritas Israel.
Sejak dimulainya kembali operasi bantuan udara internasional pada akhir Juli, sebanyak 11 negara telah berpartisipasi dan menyalurkan lebih dari 1.100 paket bantuan ke Jalur Gaza sejauh ini.
IDF mengatakan pihaknya terus melakukan serangkaian tindakan untuk meningkatkan respons kemanusiaan di Gaza dan akan bekerja sama dengan komunitas internasional guna memperkuat upaya bantuan, sambil membantah tuduhan bahwa Israel secara sengaja menyebabkan kelaparan di Gaza.
Kendati demikian, sejumlah pejabat dan pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa operasi pengiriman bantuan melalui udara memiliki dampak yang kecil dalam mengatasi krisis kemanusiaan di Gaza, kecuali Israel membuka perlintasan darat untuk memungkinkan masuknya lebih banyak bantuan dan mengizinkan perawatan medis bagi mereka yang mengalami malanutrisi.