Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi menegaskan sikap tegas negaranya terhadap segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan pengelolaan Sungai Nil. Dalam konferensi pers yang digelar di Kairo bersama Presiden Uganda Yoweri Museveni, Sisi menyatakan bahwa anggapan pihak-pihak tertentu yang berpikir Mesir akan mengabaikan hak airnya adalah salah. Ia menjelaskan bahwa aliran tahunan gabungan dari Sungai Nil Putih dan Nil Biru, yang keduanya merupakan afluen utama dari Sungai Nil, mencapai angka sekitar 1.600 miliar meter kubik. Namun, tragisnya, sebagian besar dari aliran tersebut hilang akibat penguapan, hutan, rawa, dan penyerapan ke dalam tanah.
“Yang sampai ke Sungai Nil hanya sebagian kecil,” lanjut Sisi, “dan Mesir bersama Sudan hanya menerima sekitar 85 miliar meter kubik, yang merupakan sekitar 4 persen dari total tersebut.” Pernyataan ini menggambarkan betapa pentingnya pengelolaan air di kawasan ini, mengingat betapa vitalnya sumber daya tersebut bagi kehidupan di Mesir dan Sudan.
Al-Sisi menegaskan komitmennya untuk menolak segala bentuk campur tangan atau perusakan yang dapat mengganggu stabilitas dan kesejahteraan di wilayah tersebut. Ia menyatakan bahwa Mesir lebih memilih untuk berfokus pada pembangunan dan kemajuan bagi benua Afrika. Di tengah ketegangan yang mengelilingi isu air, Sisi mendorong negara-negara di sekitar Sungai Nil untuk mempertimbangkan kembali perjanjian yang membahas hak dan tanggung jawab masing-masing negara terkait sumber daya air yang semakin terancam.
Ketegangan yang ada semakin meningkat setelah Ethiopia mengumumkan penyelesaian pembangunan Bendungan Renaissance Ethiopia Raya di Sungai Nil Biru. Pembangunan bendungan raksasa ini dimulai pada tahun 2011 dan sejak itu menjadi sumber konflik diplomatik yang signifikan, khususnya antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir. Ketiga negara ini memiliki kekhawatiran tersendiri; Mesir, misalnya, berfokus pada potensi berkurangnya aliran air yang dapat membahayakan pasokan airnya yang bergantung sepenuhnya pada Sungai Nil.
Perundingan yang telah berlangsung bertahun-tahun, di mana Uni Afrika dan berbagai pihak internasional melakukan mediasi, belum juga menunjukkan kemajuan berarti. Ketiga negara ini masih mencari kesepakatan hukum yang dapat mengikat semua pihak dalam pengelolaan air jangka panjang. Tanpa adanya kesepakatan tersebut, situasi akan tetap rentan terhadap ketegangan yang lebih besar.
Dalam situasi ini, Sisi menyerukan kerjasama dan dialog melalui cara-cara diplomatik, dengan tujuan mewujudkan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan di Sungai Nil. Mesir berharap untuk membina hubungan baik dengan negara-negara tetangga, menjunjung tinggi pembangunan bersama, dan menghindari konflik yang dapat merugikan semua pihak.
Tindakan sepihak atau upaya merusak ekosistem Sungai Nil akan terus ditolak keras oleh pemerintah Mesir. Sisi mengajak seluruh pihak untuk berfokus pada kolaborasi yang mengedepankan kesejahteraan masyarakat di sekeliling sungai yang menjadi urat nadi kehidupan di kawasan tersebut. Sungai Nil bukan hanya menjadi sumber air, tetapi juga simbol persatuan dan kemajuan bagi negara-negara di sepanjang alirannya. Dengan perhatian yang terus menerus pada isu ini, diharapkan masa depan Sungai Nil dapat dikelola dengan lebih bijaksana, demi kepentingan bersama.