Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, akhirnya keluar dari penjara setelah menjalani masa tahanan yang panjang. Perjalanan hukum Setnov, yang dikenal luas karena keterlibatannya dalam kasus korupsi e-KTP, sempat diwarnai insiden kecelakaan lalu lintas yang menarik perhatian media. Mobil Toyota Fortuner yang dikendarainya menabrak tiang listrik, memicu spekulasi dan kontroversi di kalangan masyarakat. Dalam insiden tersebut, Setnov dilaporkan mengalami cedera serius, dengan dokter menggambarkan kondisi kepalanya yang membengkak hingga terlihat seperti “bakpao,” ungkap pengacaranya.
Meskipun banyak yang mempertanyakan keaslian kecelakaan tersebut, fakta bahwa insiden itu terjadi justru membingkai kasusnya dengan lebih dramatis. Setnov ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2017 setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi yang melibatkan proyek e-KTP. Proses persidangannya berujung pada penjatuhan hukuman 15 tahun penjara oleh majelis hakim pada tahun 2018, sebuah putusan yang menyoroti ketidakberdayaan hukum terhadap kualitas integritas publik saat itu.
Namun, baru-baru ini, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Novanto. Pada tanggal 4 Juni 2025, majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Agung Surya Jaya memutuskan untuk mengurangi masa hukuman Setnov dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun. Selain pengurangan masa hukuman, mahkamah juga menghapus sebagian dari pidana tambahan yang dijatuhkan kepada mantan Ketua Umum Golkar ini. Dalam keputusan tersebut, ditetapkan bahwa Novanto tidak dapat menduduki jabatan publik selama 2 tahun dan 6 bulan setelah menjalani masa tahanan.
Tak ketinggalan, putusan itu juga memerintahkan Setnov untuk membayar denda sebesar Rp 500 juta, atau menjalani kurungan selama enam bulan sebagai alternatifnya. Ia tetap diwajibkan untuk mengembalikan uang pengganti sebesar USD 7,3 juta, yang menjadi perhatian banyak pihak mengingat jumlahnya yang cukup signifikan.
Insiden kecelakaan dirinya juga telah memicu berbagai polemik mengenai upaya-upaya yang dianggap sebagai penghindaran dari proses hukum. Mobil yang dilihat seolah-olah mengalami kerusakan maksimal itu membuat publik bertanya-tanya apakah tindakan tersebut merupakan strategi untuk mengalihkan perhatian dari akuntabilitas hukum yang dihadapinya. Saat itu, banyak yang mengaitkan kecelakaan tersebut dengan upaya penangkalan yang lebih luas dari pihak-pihak yang terjerat dalam skandal tersebut.
Proses panjang yang harus dijalani Setnov menggambarkan betapa kompleksnya sistem hukum di Indonesia, serta dampak sosial-politik yang dihasilkan oleh skandal korupsi yang melibatkan pejabat tinggi. Dukungan dari berbagai pihak juga terlihat dalam proses hukum ini, di mana beberapa koleganya di Golkar tetap menunjukkan dukungan meskipun situasinya memancing berbagai reaksi dari masyarakat.
Kini, Setya Novanto bebas, menghadapi tantangan baru dalam reintegrasinya ke dalam masyarakat. Dengan masa hukuman yang telah berkurang dan berbagai larangan yang mengikutinya, langkah selanjutnya bagi mantan legislator yang pernah sangat berkuasa ini akan menjadi sorotan penting, baik bagi pendukung maupun penentang. Masa depan politik dan publiknya tergantung pada bagaimana ia dapat membangun kembali reputasinya, setelah melewati fase yang penuh ketegangan dan kontroversi ini.
Melihat perjalanan hidupnya, pengalaman Setnov mencerminkan realitas pahit tentang bagaimana korupsi dapat merusak integritas institusi dan kepercayaan publik. Publik kini menunggu dengan penuh rasa ingin tahu, bagaimana Setnov akan melangkah ke depan setelah kesempatan kedua yang diberikan kepadanya oleh sistem hukum.