Di Kota Depok, polisi telah menetapkan dua orang debt collector berinisial DDJ dan DN sebagai tersangka dalam kasus penarikan paksa sepeda motor milik seorang pengemudi ojek online yang berinisial HZ, berusia 31 tahun. Kejadian ini terjadi di wilayah Beji dan telah menarik perhatian publik, terutama terkait dengan praktik penagihan utang yang kerap menjadi sorotan.
Menurut keterangan yang disampaikan oleh Kompol Made Gede Oka Utama, Kasat Reskrim Polres Metro Depok, dalam sebuah konferensi pers yang diadakan pada 19 Agustus 2025, pihaknya telah mengidentifikasi peran keduanya dalam kasus tersebut. DDJ dan DN tidak hanya terlibat dalam proses penarikan, tetapi juga bertindak sebagai pengintai, mengadang sepeda motor, dan memaksa HZ untuk menuju ruko tempat penyimpanan kendaraan yang mereka sita.
“Untuk korbannya atas nama Saudara HZ, kemudian untuk tersangkanya dua orang, yaitu DDJ dan DN,” ujar Made. Penjelasan ini menegaskan bahwa kedua tersangka memiliki skenario terencana dalam melakukan aksinya. Informasi lebih lanjut mengungkapkan bahwa mereka telah melakukan modus serupa terhadap korban-korban lainnya, dengan imbalan sebesar Rp 500.000 untuk setiap sepeda motor yang berhasil ditarik secara paksa.
Kasus ini tidak hanya menjadi perhatian karena tindakan kriminalnya, tetapi juga menyentuh isu yang lebih luas mengenai etika dan hukum dalam praktik penagihan utang. Made menegaskan bahwa tidak ada alasan yang membenarkan tindakan perampasan ini, meskipun sepeda motor yang ditarik memiliki tunggakan kredit. “Mengharuskan penarikan paksa tanpa mengikuti prosedur yang berlaku adalah sebuah pelanggaran. Meskipun korban memiliki tunggakan, caranya tidak diterima oleh hukum yang ada,” jelas Made.
Situasi ini semakin rumit karena sebelumnya, pihak kepolisian berhasil menangkap empat orang debt collector lainnya, masing-masing berinisial FS, DDJ, DN, dan KT. Penangkapan ini dilakukan setelah adanya laporan mengenai penarikan paksa yang dialami oleh HZ pada 6 Agustus 2025.
Kasus penarikan paksa kendaraan ini menggugah berbagai reaksi dari masyarakat yang tentunya merasa khawatir akan keamanan dan hak-hak mereka sebagai konsumen. Banyak orang mempertanyakan mengapa praktik semacam ini masih dapat berlangsung, dan bagaimana penegakan hukum dapat lebih tegas untuk melindungi masyarakat dari tindakan yang merugikan. Sebuah keprihatinan yang semakin penting di tengah maraknya kasus serupa yang terjadi di berbagai wilayah lainnya.
Dalam dunia yang semakin kompetitif dan menuntut, pihak debt collector sering kali beroperasi di luar batasan yang seharusnya. Praktik seperti ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menciptakan ketidakpuasan yang lebih besar terhadap sistem keuangan yang ada. Dalam hal ini, penegakan hukum menjadi sangat penting untuk menjaga keadilan bagi masyarakat.
Masyarakat diharapkan lebih paham tentang hak-hak mereka dalam bertransaksi dan cara mengadukan praktik yang merugikan. Hal ini tentunya akan menuntut perhatian lebih dari instansi terkait untuk memberikan pendidikan yang layak dan sosialisasi yang lebih baik mengenai masalah penagihan utang.
Kasus ini menjadi pembelajaran bahwa kewarganegaraan yang baik tidak hanya dituntut dari debitur, tetapi juga dari pihak penagih yang perlu menjalankan tugasnya dengan cara yang benar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Harapan untuk melihat perubahan positif agar talenta-talenta di bidang ini bisa lebih diarahkan ke praktik yang sesuai dengan norma dan hukum.
Tanpa langkah-langkah preventif yang kuat, kasus serupa mungkin masih akan terus terjadi, menciptakan persepsi buruk terhadap industri penagihan dan berpotensi mengganggu ketenteraman masyarakat. Apakah ada penegakan hukum yang akan lebih tegas ke depan? Pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab agar setiap individu merasa aman dan dihargai dalam hubungan bisnis dan keuangan mereka.