Armenia, Azerbaijan, dan AS Tandatangani Kesepakatan Bersejarah untuk Normalisasi Hubungan

by -9 Views
[keyword]bitcoin[/keyword]

Wakil Menteri Luar Negeri Armenia, Vahan Kostanyan, baru-baru ini menggambarkan pertemuan trilateral yang berlangsung di Gedung Putih sebagai momen bersejarah yang dapat mengubah arah hubungan antara Armenia dan Azerbaijan. Pertemuan ini melibatkan Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, serta Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan. Dalam kesempatan itu, para pemimpin menandatangani kesepakatan yang diharapkan dapat mengakhiri konflik berkepanjangan yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Menurut Kostanyan, pertemuan tersebut menjadi tonggak penting dalam usaha normalisasi hubungan antara kedua negara, sekaligus memperkuat kerja sama strategis Armenia dengan Amerika Serikat.

Kostanyan menjelaskan bahwa dalam pertemuan tersebut, terdapat tiga nota kesepahaman yang ditandatangani antara Armenia dan AS. Nota-nota tersebut mencakup penguatan kapasitas untuk proyek “Crossroads of Peace,” kolaborasi di bidang kecerdasan buatan dan semikonduktor, serta bidang energi. Kesepakatan yang lebih luas antara Armenia dan Azerbaijan, yang juga menjadi fokus pembicaraan, kini resmi ditandatangani setelah sebelumnya disepakati pada bulan Maret. Selain itu, kedua belah pihak juga menandatangani surat yang menandai pembubaran Kelompok Minsk OSCE. Deklarasi bersama tersebut disaksikan langsung oleh Presiden Trump, menunjukkan komitmen internasional dalam mendukung perdamaian di kawasan tersebut.

Dalam konteks hubungan Armenia-Turki yang juga diperbincangkan, Kostanyan memberikan apresiasi terhadap pernyataan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang mendorong Armenia dan Azerbaijan untuk menyelesaikan perjanjian damai. Dia percaya bahwa sikap positif Turki dapat membantu dalam mengembangkan pembicaraan normalisasi antara kedua negara. Kostanyan berharap bahwa Turki akan membalas niat baik yang ditunjukkan oleh pemerintah Armenia dengan membuka perbatasan dan menjalin hubungan diplomatik yang lebih kuat.

Sejak runtuhnya Uni Soviet, Turki menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Armenia pada 21 September 1991. Namun, hubungan kedua negara ini memburuk setelah Armenia menguasai wilayah Karabakh pada tahun 1993, yang menyebabkan Turki menutup perbatasan dan memutuskan hubungan diplomatik. Situasi ini mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan setelah perang Karabakh yang terjadi pada tahun 2020, ketika kedua negara menunjuk utusan khusus untuk mendiskusikan kemungkinan normalisasi hubungan.

Salah satu aspek penting dari kesepakatan di Gedung Putih adalah pengembangan “Trump Route for International Peace and Prosperity”, rute yang dirancang untuk menghubungkan wilayah utama Azerbaijan dengan eksklave Republik Otonomi Nakhchivan. Kostanyan menyatakan bahwa deklarasi tersebut mencakup rencana untuk membuka jalur transportasi dan komunikasi regional yang berada di bawah kedaulatan, yurisdiksi, dan integritas wilayah negara-negara yang terhubung. Proyek ini, yang akan dikembangkan oleh Armenia dan AS di wilayah Armenia, memungkinkan koneksi komunikasi regional, termasuk jalur dari Armenia selatan ke Nakhchivan dan wilayah lainnya.

Meskipun prinsip-prinsip dasar dari proyek ini telah disepakati, Kostanyan menekankan bahwa pembahasan terkait teknis dan rincian pelaksanaan proyek tersebut akan dilakukan di kemudian hari. Dengan berbagai kesepakatan ini, diharapkan dapat tercipta suasana yang lebih stabil dan damai di kawasan, memberikan harapan baru bagi kedua negara yang sebelumnya terlibat dalam konflik berkepanjangan.

Proses normalisasi hubungan Armenia dan Azerbaijan, yang memperlihatkan adanya komitmen kuat dari berbagai pihak untuk mencapai perdamaian, akan menjadi langkah krusial dalam menciptakan stabilitas di kawasan yang telah lama dilanda ketegangan. Keterlibatan Amerika Serikat sebagai mediator menunjukkan pentingnya kerjasama internasional dalam mencapai resolusi yang damai dan berkelanjutan. Dalam perkembangan ke depan, kemampuan kedua negara untuk menjaga komitmen tersebut akan menjadi indikator utama dalam menghindari terulangnya konflik dan memberikan jalan menuju masa depan yang lebih cerah bagi warganya.