Bentrokan Suku dan Kelompok Bersenjata di Suriah Memperlihatkan Krisis Pascaperang yang Mendalam

by -12 Views
[keyword]bitcoin[/keyword]

Pecahnya bentrokan berdarah di Suriah, terutama sejak 13 Juli antara suku Arab Badui dan kelompok bersenjata Druze di wilayah Suwayda, menggambarkan kondisi krisis yang dialami negara tersebut setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad. Meskipun pemerintah transisi Suriah mengklaim bahwa bentrokan telah mereda dan gencatan senjata mulai diterapkan, angka korban yang bervariasi, dengan laporan menyebutkan puluhan hingga ratusan jiwa, menandakan bahwa tensi dan ketidakpastian masih sangat terasa di kalangan masyarakat.

Peringatan dari ulama besar Suriah, Sheikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, yang menekankan pentingnya memadamkan api konflik sebelum semakin meluas, masih terngiang di telinga publik. Kata-katanya yang mengingatkan akan bahaya internal berperang dengan diri sendiri seakan menjadi kenyataan saat ini. Suriah tidak hanya berjuang menghadapi kehancuran fisik akibat perang, tetapi juga mengalami keruntuhan institusional yang mendalam.

Berbeda dari fase konflik sebelumnya yang cenderung didominasi oleh faksi-faksi militer yang mendapat dukungan kekuatan asing, kerusuhan di Suwayda mencerminkan krisis pascaperang yang lebih kompleks. Terdapat kerinduan yang mendalam dari masyarakat Suriah akan martabat, reformasi, dan kepemimpinan yang akuntabel. Dalam konteks “kekosongan” ini, negara-negara yang tergabung dalam kelompok Selatan Global, seperti BRICS dan negara demokrasi berkembang lainnya, termasuk Indonesia, memiliki potensi untuk memberikan dukungan yang inklusif dan non-intervensi. Dukungan ini dapat diarahkan untuk membantu Suriah membangun kembali institusi, kepercayaan sipil, dan supremasi hukum.

Moment-moment bersejarah di Suriah, yang dimulai pada musim semi tahun 2011, menjadi simbol harapan bagi banyak orang. Ketika warga Suriah secara damai turun ke jalan, mereka berupaya memperjuangkan masa depan yang lebih adil dan inklusif. Namun, alih-alih transition yang damai, negara tersebut justru terperosok ke dalam kekerasan dan penindasan yang menyedihkan.

Selama lebih dari satu dekade, aspirasi untuk perubahan yang lebih baik semakin terhalang oleh perang saudara yang brutal, yang memecah belah masyarakat dari segi sosial, territorial, dan kelembagaan. Peperangan yang melibatkan berbagai kelompok bersenjata, ekstremisme ideologis, dan intervensi asing membuat keadaan semakin suram. Meskipun saat ini pemerintah Suriah telah kembali mengklaim kendali atas sebagian besar wilayah, realitas menunjukkan bahwa tatanan negara tersebut masih sangat rapuh.

Harapan yang sempat tumbuh dari gerakan tahun 2011 seakan belum terwujud. Aspirasi terhadap perdamaian, martabat, dan pembaruan nasional tetap hidup dalam ingatan masyarakat Suriah, namun mereka menghadapi tantangan yang sangat mendalam. Saat ini, kelelahan dan ketidakpercayaan terhadap kekuatan geopolitik global memperburuk kondisi tersebut, dan dalam konteks ini, negara-negara Selatan Global tampil dengan potensi untuk berkontribusi dalam pemulihan Suriah.

Kontribusi dari negara-negara ini menjadi sangat vital, mengingat karakteristik dukungan yang bersifat inklusif dan tidak terlibat dalam konflik internal Suriah. Ini merupakan kesempatan bagi negara-negara Selatan untuk menunjukkan solidaritas dan komitmen dalam membantu membangun kembali institusi yang telah hancur, serta menciptakan lingkungan yang mendukung pembaruan sosial dan politik di Suriah. Dalam semangat kemanusiaan, sudah sepantasnya dunia memberikan perhatian lebih terhadap nasib rakyat Suriah yang terus berjuang untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik.

Dengan kerinduan akan stability dan martabat, diharapkan langkah-langkah menuju rekonsiliasi dapat terwujud, meskipun jalan yang harus dilalui sangat berat. Namun, dengan dukungan internasional yang tepat, serta komitmen dari dalam negeri, cita-cita untuk Suriah yang lebih damai dan sejahtera bukanlah hal yang mustahil.