Pada Senin, 11 Agustus 2025, Menteri Luar Negeri Irlandia, Simon Harris, menyampaikan keprihatinan mendalam atas krisis kemanusiaan yang semakin parah di Jalur Gaza dan menegaskan kembali seruan Irlandia untuk menangguhkan Perjanjian Asosiasi Uni Eropa-Israel. Harris menekankan pentingnya upaya mendesak untuk mencapai gencatan senjata, meningkatkan bantuan kemanusiaan, dan membebaskan sandera di Gaza. Namun, ia menyoroti bahwa tindakan Israel justru berlawanan dengan harapan tersebut.
“Jika Israel melanjutkan rencana pendudukannya di Kota Gaza, itu akan berarti lebih banyak pertumpahan darah, lebih banyak korban jiwa, lebih banyak kelaparan, dan semakin jauhnya harapan perdamaian. Rencana terbaru ini tidak boleh dilanjutkan,” tegas Harris.
Pernyataan Harris muncul setelah kabinet keamanan Israel pada Jumat, 8 Agustus, menyetujui rencana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menduduki Kota Gaza. Langkah ini memicu reaksi keras dari komunitas internasional, termasuk pemerintah dan organisasi hak asasi manusia.
Sebelumnya, pada 10 Agustus, Kepala Badan Kemanusiaan PBB, Ramesh Rajasingham, memperingatkan Dewan Keamanan PBB tentang memburuknya krisis pangan di Gaza, menyatakan bahwa situasinya telah beralih dari ancaman kelaparan menjadi bencana kelaparan yang nyata. Ia menggambarkan kondisi tersebut sebagai tidak berkelanjutan.
Selain itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengkritik keras keputusan Israel untuk memperluas operasi militernya di Gaza. Macron memperingatkan bahwa strategi ini dapat menyebabkan bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memperpanjang siklus perang yang tak berujung. Ia menekankan bahwa baik sandera Israel maupun penduduk Gaza akan menjadi pihak yang paling menderita akibat tindakan tersebut. Sebagai tanggapan, Macron mengusulkan pembentukan koalisi internasional di bawah mandat PBB untuk menstabilkan Gaza.
Sementara itu, Israel melanjutkan serangan udara intensif di pinggiran Kota Gaza, termasuk Sabra, Zeitoun, dan Shejaia, setelah Netanyahu berjanji untuk mempercepat ofensif baru terhadap Hamas. Serangan ini menyebabkan perpindahan massal penduduk dan menimbulkan kekhawatiran akan eskalasi lebih lanjut. Salah satu serangan udara di dekat Rumah Sakit Al Shifa menewaskan enam jurnalis, termasuk Anas Al Sharif dari Al Jazeera. Israel mengklaim bahwa Al Sharif adalah anggota Hamas, klaim yang dibantah oleh Al Jazeera dan Al Sharif sebelum kematiannya.
Krisis kemanusiaan di Gaza semakin memburuk, dengan lebih dari 61.000 warga Palestina tewas sejak Oktober 2023. Kampanye militer Israel telah menghancurkan wilayah kantong tersebut, yang menghadapi kematian akibat kelaparan.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump membahas strategi militer Israel di Gaza, berfokus pada rencana untuk merebut sisa-sisa benteng Hamas. Menurut kantor Netanyahu, tujuan dari ofensif ini adalah untuk mengakhiri perang dengan memastikan pembebasan sandera dan mengalahkan Hamas. Pembicaraan ini menegaskan koordinasi berkelanjutan antara AS dan Israel terkait konflik tersebut.
Di sisi lain, Hamas mengancam akan mengorbankan sandera yang masih mereka pegang jika Israel melanjutkan rencana pendudukannya di Kota Gaza. Kelompok Islamis tersebut menyebut rencana Israel untuk menduduki kota dan mengevakuasi penduduknya sebagai “kejahatan perang baru”. Ancaman ini muncul setelah kabinet keamanan Israel menyetujui rencana tersebut, yang berpotensi menempatkan nyawa hampir satu juta penduduk Gaza dalam bahaya.
Sementara itu, ratusan keluarga sandera Israel bergabung dalam protes, menyerukan penghentian rencana ekspansi Gaza oleh IDF. Protes ini mencerminkan ketegangan domestik yang meningkat terkait dengan strategi militer Israel di Gaza.
Krisis kemanusiaan di Gaza semakin mendalam, dengan laporan tentang pembunuhan warga Palestina yang mencari bantuan. Sejak 27 Mei 2025, lebih dari 1.373 warga Palestina tewas dan ribuan lainnya terluka saat ditembak oleh Pasukan Pertahanan Israel, geng bersenjata, dan kontraktor yang disewa oleh Gaza Humanitarian Foundation. Kebanyakan insiden mematikan terjadi di sekitar situs distribusi bantuan yang baru didirikan oleh GHF yang didukung AS dan Israel.
Situasi ini menyoroti kompleksitas dan kesulitan dalam mencapai solusi damai dan kemanusiaan di wilayah tersebut. Upaya internasional untuk menstabilkan Gaza dan mengakhiri konflik yang telah berlangsung lama ini terus berlanjut, namun tantangan besar tetap ada.