Konferensi PBB Adopsi Kerangka Kerja Solusi Dua Negara Palestina-Israel

by -14 Views
[keyword]bitcoin[/keyword]

Pada 28 Juli 2025, Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai solusi dua negara antara Palestina dan Israel resmi dibuka di markas besar PBB di New York. Konferensi ini dipimpin bersama oleh Arab Saudi dan Prancis, dengan tujuan utama untuk mengimplementasikan solusi dua negara yang diharapkan dapat membawa perdamaian dan keamanan bagi semua pihak yang terlibat.

Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, dalam pidato pembukaannya menegaskan bahwa dokumen akhir konferensi ini merupakan kerangka kerja yang terpadu dan dapat ditindaklanjuti untuk mengimplementasikan solusi dua negara. Namun, ia tidak merinci isi dokumen tersebut secara spesifik.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, menekankan bahwa tidak ada alternatif lain selain solusi dua negara dalam menyelesaikan konflik antara Israel dan Palestina. Ia menegaskan bahwa hanya solusi politik berupa dua negara yang mampu menjawab aspirasi sah rakyat Israel dan Palestina untuk hidup dalam damai dan aman.

Konferensi ini berlangsung di tengah situasi yang semakin kompleks di Timur Tengah. Sejak 7 Oktober 2023, serangan militer Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 60.000 warga Palestina, dengan pengeboman yang menghancurkan wilayah kantong tersebut dan menyebabkan kekurangan pangan. Pada November 2023, Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Kepala Otoritas Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Kepala Pertahanannya, Yoav Gallant, atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional terkait perang di wilayah kantong tersebut.

Sebelum konferensi ini, pada 3 Desember 2024, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang menyerukan penyelenggaraan konferensi tingkat tinggi untuk menerapkan resolusi terkait dan mencapai solusi dua negara dalam konflik Israel-Palestina. Rancangan resolusi ini diajukan oleh Senegal dan didukung oleh banyak negara, termasuk Turki, dan disahkan dengan 157 suara mendukung, 8 menolak, dan 7 abstain.

Namun, tidak semua pihak mendukung konferensi ini. Israel dan Amerika Serikat memutuskan untuk tidak hadir, dengan Washington mengklaim bahwa konferensi tersebut dapat memperpanjang perang yang sedang berlangsung di Gaza. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyebut acara tersebut sebagai “aksi publisitas yang tidak tepat waktu” dan menegaskan bahwa konferensi ini justru dapat memperpanjang konflik dan melemahkan upaya nyata menuju perdamaian.

Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron telah mengumumkan niatnya untuk secara resmi mengakui negara Palestina pada bulan September mendatang. Langkah ini diharapkan dapat memberikan dorongan bagi proses perdamaian dan pengakuan internasional terhadap kedaulatan Palestina.

Konferensi ini juga menjadi ajang bagi para pemimpin internasional untuk mendiskusikan langkah-langkah konkret dalam mewujudkan solusi dua negara. Penting untuk dicatat bahwa meskipun terdapat berbagai tantangan dan perbedaan pandangan, upaya diplomatik seperti ini tetap krusial dalam mencari jalan menuju perdamaian yang adil dan langgeng di Timur Tengah.