Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja telah memasuki hari ketiga pada 26 Juli 2025, menandai eskalasi paling serius dalam 13 tahun terakhir. Pertempuran sengit ini telah mengakibatkan lebih dari 30 korban jiwa dan memaksa lebih dari 130.000 orang mengungsi dari wilayah perbatasan.
Kementerian Pertahanan Kamboja melaporkan bahwa delapan warga sipil dan lima tentara tewas dalam pertempuran lintas batas dengan Thailand. Sementara itu, Thailand melaporkan 15 korban jiwa, termasuk seorang tentara, selama bentrokan yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Ribuan warga Thailand juga telah mengungsi akibat bentrokan tersebut.
Pertempuran ini dimulai pada 24 Juli 2025, dipicu oleh ledakan ranjau darat yang melukai lima tentara Thailand. Kedua negara saling menuduh sebagai pihak yang memulai baku tembak. Thailand mengerahkan jet tempur, sementara Kamboja menembakkan roket dalam bentrokan tersebut.
Malaysia, yang saat ini memegang posisi ketua ASEAN, telah mengusulkan gencatan senjata untuk mengakhiri konflik ini. Kamboja mendukung inisiatif tersebut, sementara Thailand menyatakan persetujuan “secara prinsip” dengan syarat kondisi di lapangan mendukung. Namun, Thailand juga mengkritik tindakan militer Kamboja yang terus berlangsung, yang dianggapnya sebagai indikasi kurangnya itikad baik dari pihak Kamboja dan membahayakan nyawa warga sipil.
Di tingkat internasional, Dewan Keamanan PBB telah mengadakan pertemuan tertutup untuk membahas situasi ini. Thailand menuduh Kamboja menanam ranjau darat dan memulai serangan, tuduhan yang dibantah oleh Kamboja. Kamboja menggambarkan tindakan Thailand sebagai agresi ilegal dan mendesak kecaman internasional.
Akar dari sengketa ini terletak pada klaim teritorial atas kuil kuno Khmer, Preah Vihear. Meskipun pada tahun 1962 Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kuil tersebut menjadi milik Kamboja, ketegangan kembali meningkat setelah Kamboja mengajukan permohonan ke UNESCO pada tahun 2008. Kamboja telah mendekati Mahkamah Internasional untuk penyelesaian, sementara Thailand bersikeras pada pembicaraan bilateral.
Sementara itu, dampak ekonomi dari konflik ini mulai dirasakan oleh kedua negara. Perdagangan antara Thailand dan Kamboja terganggu, dengan Kamboja melarang impor buah, sayuran, bensin, dan propana dari Thailand. Thailand juga melarang sepeda motor asal Kamboja masuk ke seluruh pos perbatasan darat. Pekerja migran asal Kamboja yang bekerja di Thailand juga terdampak, dengan sekitar 500.000 pekerja migran asal Kamboja tercatat bekerja di Thailand.
Situasi kemanusiaan semakin memburuk dengan ribuan warga sipil yang mengungsi dari daerah-daerah berisiko tinggi di Provinsi Preah Vihear, Oddar Meanchey, dan Pursat. Pemerintah kedua negara telah mendirikan tempat penampungan sementara untuk menampung para pengungsi, namun kondisi di tempat-tempat tersebut masih memprihatinkan.
Dengan meningkatnya jumlah korban jiwa dan pengungsi, serta dampak ekonomi yang semakin terasa, masyarakat internasional mendesak kedua negara untuk segera mencapai kesepakatan damai dan menghindari eskalasi lebih lanjut. Upaya diplomatik terus dilakukan untuk mencari solusi damai atas konflik ini, namun tantangan besar masih menghadang.
Sementara itu, masyarakat internasional terus memantau perkembangan situasi ini dengan harapan agar kedua negara dapat segera mencapai kesepakatan damai dan menghindari eskalasi lebih lanjut.