Korea Utara Minta AS Akui Status Nuklirnya untuk Lanjutkan Perundingan

by -11 Views
[keyword]bitcoin[/keyword]

Pada Selasa, 3 April 2024, Korea Utara menegaskan bahwa Amerika Serikat harus mengakui statusnya sebagai negara bersenjata nuklir jika ingin melanjutkan perundingan bilateral. Kim Yo Jong, saudara perempuan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, menyatakan bahwa pengakuan atas posisi Korea Utara sebagai negara bersenjata nuklir harus menjadi prasyarat untuk memprediksi dan mempertimbangkan segala hal di masa depan. DPRK, singkatan dari Democratic People’s Republic of Korea, adalah nama resmi Korea Utara.

Meskipun hubungan pribadi antara Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump tidak buruk, Kim Yo Jong yang juga pejabat senior partai yang berkuasa, menegaskan bahwa upaya Washington untuk memanfaatkan hubungan tersebut guna mendorong denuklirisasi Korea Utara akan dianggap sebagai ejekan. Ia menekankan bahwa jika Amerika Serikat gagal menerima kenyataan yang telah berubah dan tetap bersikeras pada pendekatan masa lalu yang telah gagal, pertemuan antara Korea Utara dan AS hanya akan menjadi harapan sepihak dari pihak AS.

Pada pertemuan puncak bersejarah pertama antara AS dan Korea Utara pada Juni 2018 di Singapura, Trump dan Kim sepakat bahwa Washington akan memberikan jaminan keamanan kepada Pyongyang dengan imbalan denuklirisasi secara penuh di Semenanjung Korea. Namun, mereka tidak mampu menjembatani kesenjangan antara tuntutan AS dan permintaan Korea Utara untuk pelonggaran sanksi saat pertemuan kedua mereka di Hanoi pada Februari 2019. Setelah itu, Trump dan Kim bertemu kembali di Zona Demiliterisasi yang memisahkan Korea Utara dan Selatan pada Juni 2019. Amerika Serikat dan Korea Utara mengadakan pertemuan tingkat kerja di Stockholm pada Oktober 2019, tetapi gagal membuat kemajuan.

Kim Yo Jong menekankan bahwa kemampuan nuklir Korea Utara dan situasi geopolitik telah berubah secara radikal sejak pertemuan-pertemuan tersebut. Korea Utara menandatangani pakta kerja sama pertahanan bilateral dengan Rusia pada Juni tahun lalu, yang mencakup ketentuan tentang bantuan timbal balik jika salah satu negara diserang.

Pernyataan ini mencerminkan ketegangan yang meningkat antara Korea Utara dan Amerika Serikat, serta tantangan dalam upaya denuklirisasi Semenanjung Korea. Kedua negara perlu mencari jalan tengah untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut.