Korea Utara secara resmi menolak dialog dengan Korea Selatan dalam pernyataan pertamanya setelah pelantikan Presiden Korea Selatan, Lee Jae Myung, pada Juni 2025. Penolakan ini disampaikan dalam konteks kritik yang tajam terhadap aliansi militer antara Seoul dan Washington, serta pendekatan konfrontatif yang diambil oleh pemerintah Korea Selatan terhadap Pyongyang.
Kim Yo Jong, yang merupakan saudara perempuan dari pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan seorang pejabat senior di negara tersebut, menyampaikan pernyataannya melalui Korean Central News Agency. Ia menegaskan bahwa tidak ada ketertarikan bagi Korea Utara untuk terlibat dalam dialog, apapun kebijakan atau usulan yang mungkin diajukan oleh Seoul. Dalam pandangannya, pemerintahan Lee Jae Myung menunjukkan “kepercayaan buta” terhadap aliansinya dengan Amerika Serikat dan berupaya untuk berkonfrontasi dengan Korea Utara, mirip dengan sikap yang dipegang oleh pendahulunya, Yoon Suk Yeol.
Kim Yo Jong dengan tegas menyatakan bahwa Korea Selatan tidak akan pernah menjadi mitra dalam upaya rekonsiliasi atau kerjasama. Pendapat ini muncul di tengah suasana ketegangan yang terus membara di Semenanjung Korea. Dalam upaya meredakan ketegangan yang mungkin terjadi, Presiden Lee, setelah dilantik, menginstruksikan angkatan bersenjata Korea Selatan untuk menghentikan siaran propaganda yang dilakukan menggunakan pengeras suara di sepanjang perbatasan dengan Korea Utara. Langkah ini diharapkan dapat menjadi sinyal niat baik dari pemerintah baru untuk mengurangi ketegangan di kawasan.
Namun, Kim Yo Jong merespons langkah tersebut dengan skeptis. Ia menyebutkan bahwa tindakan menghentikan siaran itu hanyalah sebuah pembalikan sementara dari kebijakan yang seharusnya tidak diterapkan sejak awal. Ia menganggap sikap tersebut bukanlah sebuah perkembangan yang layak untuk dipuji, melainkan sebuah kesalahan perhitungan jika Korea Selatan menganggap dapat mengubah dampak yang sudah terjadi hanya melalui beberapa kata sentimental. Lewat pernyataannya, Kim menyiratkan bahwa sikap Korea Selatan yang selama ini terkesan agresif tidak dapat diubah dengan mudah.
Sementara itu, ada spekulasi di media Korea Selatan terkait kemungkinan undangan untuk Kim Jong Un menghadiri KTT APEC yang dijadwalkan berlangsung di Gyeongju pada bulan November mendatang. Menanggapi isu ini, Kim Yo Jong menyindir bahwa Presiden Lee “bermimpi di siang bolong”. Ungkapan ini mencerminkan pandangan skeptisnya terhadap rencana dan harapan yang mungkin dimiliki oleh pemerintah Korea Selatan.
Dalam konteks ini, pernyataan Kim Yo Jong juga menyoroti dinamika politik yang lebih luas di kedua negara. Sejak pelantikan Lee, perubahan dalam kebijakan luar negeri Korea Selatan diharapkan dapat memberikan angin segar bagi upaya diplomasi, namun respons dari Korea Utara menunjukkan bahwa tantangan tetap besar. Ketegangan antara kedua negara telah berlangsung lama dan berlarut-larut, dengan berbagai insiden yang memperburuk hubungan, mulai dari uji coba senjata hingga tindakan militer.
Berbagai langkah yang diambil oleh pemerintah Korea Selatan sering kali dipandang sebagai upaya untuk mengambil jarak dari kebijakan yang lebih lunak dan mencoba pendekatan yang lebih keras terhadap Korea Utara. Ini membuat situasi semakin rumit, di mana setiap langkah kecil dalam diplomasi dapat menimbulkan dampak yang lebih besar. Dalam pandangan Kim Yo Jong, pendekatan ini bukan hanya salah arah, tetapi juga berpotensi memperburuk suasana yang sudah tegang.
Dengan ketidakpastian politik yang terus berlangsung dan kekhawatiran akan kemungkinan konflik yang lebih besar, reaksi dari dua negara ini akan terus menjadi sorotan utama. Dalam situasi seperti ini, penting bagi keduanya untuk mempertimbangkan dengan bijak langkah-langkah yang diambil, untuk mencegah perpecahan yang lebih dalam dan mungkin merugikan kedua belah pihak. Upaya untuk rekonsiliasi tetap diperlukan, tetapi tantangan yang ada seakan menghambat laju menuju perbaikan hubungan yang substansial.