Krisis Bahan Bakar, Bayi Prematur di Gaza Dirawat Satu Inkubator Empat Bayi

by -11 Views
[keyword]bitcoin[/keyword]

Di tengah krisis yang berkepanjangan di Jalur Gaza, Rumah Sakit Al-Shifa sedang berjuang menghadapi tantangan besar dalam merawat bayi-bayi baru lahir. Staf medis mengungkapkan bahwa mereka terpaksa memanfaatkan inkubator dengan cara yang tidak biasa, yaitu merawat tiga hingga empat bayi prematur dalam satu alat untuk membantu pemulihan. Situasi ini muncul akibat krisis bahan bakar yang mengganggu operasional rumah sakit, menyusul serangkaian konflik yang berkepanjangan dan mempengaruhi akses terhadap sumber daya penting.

Dalam setengah tahun pertama 2025, sekitar 17.000 bayi lahir di Jalur Gaza. Dari jumlah tersebut, satu dari sepuluh bayi lahir prematur, dengan banyak di antaranya menderita kekurangan berat badan. Keterbatasan pasokan susu formula dan perlengkapan medis semakin memperburuk kondisi ini. Juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza mengakui bahwa rumah sakit terpaksa melakukan berbagai cara untuk memaksimalkan penggunaan energi dan sumber daya yang ada. Kekurangan bahan bakar yang parah memaksa tenaga medis untuk memprioritaskan penggunaan inkubator, sehingga harus menampung lebih dari satu bayi dalam setiapnya.

Beban berat ini bukan hanya disebabkan oleh krisis bahan bakar, tetapi juga dampak dari konflik yang berkepanjangan antara Israel dan kelompok perjuangan Palestina. Sebagian besar ibu hamil hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, terpaksa bersembunyi di tenda pengungsian, terpapar pemboman, dan menderita kekurangan makanan serta air bersih. Ini adalah realitas yang sangat kelam yang dihadapi warga Gaza; lebih dari 59.000 orang dilaporkan tewas dan lebih dari 142.000 mengalami luka-luka akibat serangan yang sering kali tidak mengenal ampun sejak Oktober 2023.

Krisis kesehatan ini semakin diperburuk oleh statistik yang mencengangkan. Menurut laporan dari organisasi kesehatan dunia, hanya terdapat 2.000 tempat tidur rumah sakit di wilayah padat penduduk ini, yang dihuni sekitar dua juta orang. Dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil yang dapat beroperasi dengan baik. Beban tambahan dirasakan oleh rumah sakit yang sudah berjuang keras untuk memberikan perawatan di tengah terbatasnya sumber daya dan meningkatnya jumlah pasien, terutama bayi-bayi yang membutuhkan perhatian khusus.

Krisis ini tidak terlepas dari serangan yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023, ketika Israel mengalami serangan besar-besaran setelah kelompok Hamas menembus perbatasan dan meluncurkan serangan terhadap warga sipil dan militer. Akibat peristiwa tersebut, hampir 1.200 warga Israel dilaporkan tewas, yang kemudian direspons dengan operasi militer dan serangan darat ke Jalur Gaza. Pengepungan total diberlakukan oleh Israel, memutus pasokan air, listrik, bahan bakar, serta makanan dan obat-obatan. Dalam situasi seperti ini, upaya untuk menjalin dialog damai terus dilakukan; Kairo, bersama sejumlah negara mediator lainnya, sedang berupaya untuk merundingkan gencatan senjata selama 60 hari dan pembebasan sandera Israel.

Meski upaya diplomatik terus dilakukan, dampak dari konflik ini sangat menghancurkan, terutama bagi kaum perempuan dan anak-anak. Banyak ibu yang terpaksa menghadapi stres dan kekhawatiran terkait kondisi kesehatan mereka dan anak-anak yang dilahirkan dalam situasi yang tidak menentu. Hal ini menciptakan masa depan yang suram bagi generasi muda Palestina.

Dalam menghadapi semua tantangan ini, staf medis di Jalur Gaza terus berjuang dengan tekad untuk memberikan perawatan terbaik yang bisa mereka berikan. Namun, mereka berhadapan dengan keterbatasan yang sangat nyata dan menuntut perhatian serta dukungan dari dunia internasional. Kemanusiaan di Jalur Gaza membutuhkan lebih daripada sekadar kata-kata; tindakan nyata dan dukungan menjadi sangat penting untuk meringankan beban yang tengah mereka hadapi. Kita semua sepakat bahwa situasi ini, yang berlangsung lama tanpa solusi yang jelas, tidak boleh dibiarkan begitu saja.