Krisis Kelaparan di Gaza: Warga Pingsan dan Anak-Anak Meninggal akibat Malnutrisi Berat

by -13 Views
[keyword]bitcoin[/keyword]

Istanbul – Situasi di Gaza semakin memburuk dengan meningkatnya angka kelaparan dan malnutrisi di kalangan penduduk, termasuk staf dari Badan PBB untuk Pengungsi Palestina. Ratusan orang dilaporkan jatuh pingsan akibat kelaparan ekstrem, dengan banyak anak-anak dan individu berkebutuhan khusus berada dalam kondisi kritis. Pihak UNRWA menyatakan bahwa mereka terpaksa menyaksikan tragedi ini terjadi di depan mata, di mana orang-orang di Gaza, termasuk pegawai mereka, mengalami kelaparan yang sangat parah.

Menurut UNRWA, banyak orang di Gaza terpaksa hidup tanpa akses yang memadai terhadap makanan dan kebutuhan dasar. Badan ini mengungkapkan bahwa, dalam beberapa waktu terakhir, mereka menerima laporan bahwa anak-anak dan orang dewasa telah meninggal akibat malnutrisi berat. Mereka menyoroti bahwa situasi ini diperburuk dengan adanya kebijakan yang menyebabkan penduduk Gaza dibiarkan kelaparan tanpa adanya akses yang memadai untuk menerima bantuan.

Lebih lanjut, UNRWA mengungkapkan bahwa mereka memiliki ribuan truk bantuan yang siap untuk diberangkatkan ke Gaza, namun terjebak di negara tetangga karena belum mendapatkan izin masuk dari pihak otoritas Israel. Sejak awal Maret, otoritas Israel telah menutup perbatasan Gaza, mengakibatkan sejumlah besar bantuan kemanusiaan tidak dapat disalurkan. Dalam pesannya, UNRWA menekankan perlunya segera mengakhiri pengepungan tersebut agar bantuan penyelamat kehidupan dapat diterima oleh mereka yang sangat membutuhkannya.

Informasi terbaru dari Kementerian Kesehatan Gaza menunjukkan bahwa jumlah kematian akibat kelaparan dan malnutrisi telah meningkat menjadi 101 orang sejak Oktober 2023, di mana 80 di antaranya merupakan anak-anak. Dalam rentang waktu 24 jam terakhir, tercatat 15 warga Palestina, termasuk empat anak, kehilangan nyawa mereka akibat kondisi kesehatan yang memburuk. Kantor Media Pemerintah Gaza juga memberikan peringatan bahwa wilayah tersebut berada di ambang “kematian massal”, khususnya setelah lebih dari 140 hari perbatasan ditutup tanpa akses ke bantuan yang vital.

Sejak 2 Maret, Israel terus menunda pelaksanaan gencatan senjata dan melanggar kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas, sehingga perlintasan perbatasan Gaza tetap ditutup. Kondisi ini menciptakan masalah yang semakin serius, dengan bantuan kemanusiaan yang sangat diperlukan terpaksa ditahan di sepanjang perbatasan tanpa bisa didistribusikan kepada yang memerlukan.

Kehidupan sehari-hari di Gaza kini dipenuhi dengan ketegangan dan ketidakpastian. Banyak keluarga harus menghadapi kenyataan pahit di mana anak-anak mereka menderita akibat kurang gizi, sementara usaha mereka untuk mendapatkan bantuan terhambat oleh birokrasi dan penutupan perbatasan. Anak-anak yang seharusnya dapat menikmati masa muda mereka dengan ceria kini terpaksa berjuang untuk bertahan hidup. Keterasingan dan ketidakberdayaan ini tak pelak semakin memperburuk kondisi mental dan emosional masyarakat yang sudah terjepit dalam krisis berkepanjangan.

Komunitas internasional pun terus meminta perhatian terhadap krisis kemanusiaan yang serius ini. Banyak pemerhati hak asasi manusia mendesak agar tindakan tegas diambil untuk mengatasi situasi di Gaza dan untuk memastikan bahwa bantuan kemanusiaan dapat sampai kepada mereka yang paling membutuhkannya. Diskusi tentang perdamaian dan kesepakatan politis sering kali mendominasi percakapan, namun di tengah semua itu, suara-suara dari para korban kelaparan dan penderitaan di Gaza tidak boleh diabaikan.

Dalam konteks ini, sangat jelas bahwa bantuan kemanusiaan tidak hanya sekadar diperlukan, tapi juga menjadi suatu keharusan untuk menghindari krisis lebih lanjut. Keterlambatan dalam memberikan akses bantuan akan mengakibatkan konsekuensi yang lebih fatal, mengingat populasi yang terjebak di Gaza kini mengalami penderitaan yang luar biasa, dan masa depan mereka semakin suram jika tidak ada tindakan segera yang diambil.