Di Malaysia, fenomena menarik terjadi di kalangan pemilik mobil mewah terkait dengan tanggung jawab finansial mereka. Banyak dari mereka memilih untuk menunggak pembayaran pajak kendaraan, dengan alasan bahwa denda tilang yang dikenakan jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperpanjang pajak dan asuransi kendaraan.
Muhammad Hasif Hasan, seorang pengacara senior di Malaysia, mengungkapkan bahwa ada kecenderungan di kalangan pemilik kendaraan mewah untuk tidak memperpanjang dokumen wajib, seperti pajak jalan dan asuransi. Menurutnya, sejumlah pemilik mobil mewah lebih memilih membayar denda maksimal yang berkisar 300 ringgit, ketimbang mengeluarkan uang jauh lebih besar untuk pajak dan asuransi yang totalnya bisa mencapai lebih dari 15.000 ringgit.
Hasif menceritakan pengalaman bertemu dengan salah satu pemilik mobil yang diketahui sebagai “orang kena tilang.” Dalam perbincangan tersebut, pemilik mobil menjelaskan bahwa ia memilih membayar denda daripada mengurus semua dokumen yang diperlukan. Ketika ditanya lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa membayar denda sebesar 300 ringgit jauh lebih ekonomis dibandingkan dengan pemenuhan kewajiban pajak yang bisa mencapai lebih dari 5.000 ringgit hanya untuk pajak jalan dan 10.000 ringgit untuk asuransi mobil mewah seperti Bentley Continental.
Menariknya, pemilik yang ditanya tersebut tidak setiap hari menggunakan mobil mewahnya. Ia hanya menggunakannya sesekali, misalnya untuk keperluan promosi produk. Ketidakaktifan dalam mengemudikan kendaraan sehari-hari tidak mengurangi keengganan untuk memenuhi kewajiban pajak dan asuransi. Ketika mempertimbangkan risiko yang dihadapi, pemilik kendaraan ini tampaknya lebih memilih untuk mengambil jalan pintas dan membayar denda yang lebih rendah jika terpaksa ditilang.
Namun, Hasif menegaskan bahwa tindakan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi membahayakan nyawa orang lain. Dalam hal terjadi kecelakaan, tanpa adanya asuransi, pemilik mobil mewah sangat berisiko untuk tidak bisa mengajukan klaim. Akibatnya, jika terjadi kecelakaan yang menyebabkan korban cedera atau meninggal dunia, mereka harus menanggung semua biaya, baik pengobatan maupun prosedur hukum. Hasif menegaskan bahwa aksi sembrono ini bisa berujung pada proses hukum yang sangat rumit dan mahal. Biaya hukum dapat mencapai hingga 40.000 ringgit, belum termasuk biaya medis dan pengadilan lainnya.
Kondisi ini menciptakan situasi yang tidak menguntungkan bagi korban dan keluarga mereka. Tanpa adanya jaminan untuk menerima kompensasi, mereka akan menghadapi rintangan yang signifikan dalam proses hukum, apalagi jika mereka terlibat dalam sebuah kecelakaan serius. Dalam wawancara, Hasif mengungkapkan keprihatinannya terhadap dampak dari sikap apatis ini, terutama terhadap keamanan publik. Menurutnya, ketidakpatuhan terhadap peraturan pajak dan asuransi hanya akan memperburuk situasi, tidak hanya bagi si pengemudi, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan.
Kasus seperti ini memberikan gambaran bahwa keuntungan jangka pendek bisa berdampak besar dalam jangka panjang, baik bagi individu maupun masyarakat. Denda yang lebih ringan tidak seharusnya menjadi insentif bagi pemilik kendaraan untuk mengabaikan kewajiban hukum mereka. Ada kebutuhan mendesak untuk menerapkan strategi pendidikan dan penegakan hukum yang lebih efektif, untuk memastikan masyarakat memahami pentingnya memiliki asuransi dan membayar pajak kendaraan. Melalui langkah-langkah ini, diharapkan bisa terwujud kesadaran yang lebih besar serta terjaganya keselamatan di jalan raya.
Dengan semakin banyaknya diskusi mengenai hal ini, diharapkan pihak berwenang akan lebih memperhatikan fenomena ini dan mengambil tindakan tepat. Pemilik kendaraan mewah seharusnya tidak hanya memikirkan biaya yang langsung terlihat, namun juga implikasi yang lebih luas dari keputusan finansial mereka terhadap keselamatan dan kesejahteraan bersama.