Penjualan mobil kelas Low Cost Green Car mengalami penurunan yang signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Meskipun kondisi ini tengah dihadapi, para pengamat industri memprediksi bahwa segmen LCGC akan tetap ada dan berpotensi untuk bertahan. Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia menunjukkan bahwa angka penjualan wholesales LCGC menurun drastis dari Januari hingga Juni 2025. Pada Januari, penjualannya tercatat mencapai 12.324 unit, namun pada bulan Juni, angka tersebut merosot menjadi 7.762 unit.
Penurunan penjualan ini sudah sejalan dengan kondisi pasar otomotif secara umum yang juga mengalami kemerosotan. Berbagai faktor ekonomi berperan sebagai penyebab utama dari situasi ini. Daya beli masyarakat yang menurun di tengah ketidakpastian ekonomi global ikut memberikan dampak. Situasi geopolitik seperti konflik di Eropa dan Timur Tengah, serta kebijakan tarif yang diambil oleh negara lain, juga berkontribusi menciptakan ketidakpastian. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia yang menyoroti betapa pentingnya situasi ekonomi global dalam memengaruhi penjualan kendaraan di dalam negeri.
Saat ini, perhatian masyarakat terhadap segmen LCGC semakin meningkat, terutama dengan masuknya pendatang baru seperti BYD Atto 1 ke pasar Indonesia. Mobil ini menawarkan harga yang sangat kompetitif dan bersaing langsung dengan produk LCGC lainnya. Potensi Atto 1 untuk merebut pangsa pasar dari LCGC semakin besar, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Pengamat otomotif senior dari Institut Teknologi Bandung memberikan analisis bahwa konsumen dari generasi Millenial dan Gen Z di area tersebut cenderung mencari kendaraan yang menawarkan biaya operasional rendah, performa lebih baik, serta fitur modern yang sesuai dengan gaya hidup mereka.
Meskipun demikian, LCGC tampaknya masih memiliki ruang untuk berkembang, namun bukan lagi di wilayah perkotaan besar. Pengamat tersebut menegaskan bahwa pasar LCGC akan tetap dominan di daerah Tier-2 dan Tier-3, yang umumnya mencakup kota kecil dan wilayah luar kota. Di tempat-tempat tersebut, infrastruktur pengisian kendaraan listrik masih terbatas dan jaringan listrik tidak stabil. Para konsumen di wilayah ini memiliki pertimbangan untuk memiliki kendaraan yang dapat digunakan tanpa ketergantungan pada fasilitas pengisian daya, serta mempertimbangkan potensi nilai jual kembali yang lebih baik dibandingkan dengan kendaraan listrik murah.
Dari segi nilai jual kembali, kendaraan LCGC bekas diketahui lebih mudah dipasarkan. Oleh karena itu, pemilik mobil di daerah yang belum begitu terjangkau oleh infrastruktur pengisian kendaraan listrik akan lebih mempertimbangkan untuk memilih LCGC. Dengan harga terjangkau dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan transportasi sehari-hari, LCGC masih bisa menjadi pilihan utama bagi konsumen yang menginginkan kendaraan praktis tanpa memikirkan fasilitas pengisian yang tidak merata.
Dalam konteks yang lebih luas, penurunan penjualan LCGC ini mencerminkan ketidakpastian ekonomi yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Akses terhadap informasi, perubahan preferensi konsumen, serta stimulus dari produk baru seperti BYD Atto 1 menciptakan tantangan tersendiri bagi segmen LCGC. Namun, dengan inovasi dan adaptasi yang tepat, segmen ini masih memiliki peluang untuk bertahan dan berkontribusi terhadap perkembangan industri otomotif Indonesia, terutama di wilayah yang lebih kecil di mana tantangan infrastruktur tidak sekuat di kota-kota besar.
Dengan demikian, perkembangan selanjutnya dalam industri otomotif, khususnya LCGC, perlu dipantau dengan cermat. Perubahan dalam perilaku konsumen dan respons terhadap kondisi ekonomi global akan sangat berpengaruh pada skenario pasar ke depan. Enggaknya inovasi teknologi dan varian produk baru akan membentuk lanskap persaingan otomotif yang semakin dinamis di Indonesia, di mana setiap merek harus siap menghadapi tantangan dan memanfaatkan kesempatan yang ada.