Dalam film yang baru saja dirilis berjudul Oppenheimer, ada sebuah ungkapan menarik yang diingatkan oleh fisikawan Isidor Rabi. Ia menegaskan bahwa bom nuklir tidak hanya akan menghancurkan mereka yang berbuat salah, tetapi juga akan menimpa yang tidak bersalah. Rabi, yang diperankan oleh David Krumholtz dalam film tersebut, menyatakan keprihatinannya, “Saya tidak ingin puncak dari tiga abad fisika modern berujung pada senjata pemusnah massal.” Pernyataan tersebut mencerminkan urgensi dan relevansi tema yang tengah dihadapi dunia saat ini, terutama dengan rencana perundingan nuklir baru antara Iran dan tiga negara Eropa—Inggris, Jerman, dan Prancis.
Kementerian Luar Negeri Iran telah mengonfirmasi bahwa perundingan akan dilaksanakan di Istanbul, Turki, pada 25 Juli 2025. Juru bicara Kementerian tersebut, Esmaeil Baghaei, mengungkapkan bahwa Iran telah setuju untuk melanjutkan perundingan tersebut atas permintaan ketiga negara Eropa yang terlibat dalam kesepakatan nuklir yang dikenal dengan nama Rencana Aksi Komprehensif Bersama. Kesepakatan ini dibuat pada tahun 2015 dan bertujuan untuk mengatur program nuklir Iran demi mencegah penyebaran senjata nuklir di kawasan yang sudah bergejolak.
Perundingan ini sangat vital karena dapat mengurangi ketegangan di kawasan Timur Tengah, di mana kekhawatiran mengenai program nuklir Iran semakin meningkat. Negara-negara Barat merasa cemas bahwa pengembangan fasilitas nuklir Iran dapat berujung pada pembuatan senjata nuklir. Meski demikian, belum ada bukti kuat yang mendukung kekhawatiran ini. Ketidakpercayaan yang mendalam, ketegangan sejarah, dan rivalitas regional, terutama keterlibatan Israel dan negara-negara di Teluk, tampaknya menjadi faktor utama di balik persepsi ini.
Iran, sebagai penandatangan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, menegaskan bahwa program nuklirnya murni untuk tujuan sipil dan bukan untuk menciptakan senjata nuklir. Iran telah menjalani serangkaian inspeksi ketat oleh Badan Tenaga Atom Internasional, yang meskipun mengalami tekanan politik, tak pernah menemukan bukti bahwa Iran sedang memproduksi senjata nuklir. Namun, Iran tetap menghadapi berbagai tantangan, mulai dari sanksi internasional, tindakan sabotase, hingga tuduhan yang terus-menerus mengenai program persenjataan nuklirnya yang pada umumnya ditujukan oleh negara-negara Barat.
Kondisi ini menciptakan sebuah siklus ketegangan yang sulit diputus. Pada satu sisi, ada dorongan untuk terus mengawasi program nuklir Iran, sedangkan di sisi lain, Iran berusaha untuk mempertahankan haknya sebagai negara yang berdaulat dan memiliki akses terhadap teknologi nuklir untuk tujuan damai. Dalam konteks ini, langkah-langkah advokasi kepatuhan universal terhadap NPT menjadi semakin relevan. Indonesia dan negara-negara lain di kawasan bisa berperan dalam mendorong semua pihak, termasuk Israel, untuk mematuhi ketentuan yang telah disepakati dan tunduk pada pengawasan IAEA.
Dengan demikian, perundingan yang akan digelar di Istanbul bukan hanya sekedar pembicaraan teknis mengenai program nuklir, melainkan juga sebuah upaya untuk meredakan ketegangan dan menciptakan kepercayaan di antara semua negara yang terlibat. Penting bagi semua pihak untuk terus berkomitmen pada dialog dan transparansi untuk mencegah potensi konflik yang dapat mengancam stabilitas kawasan. Ini adalah tantangan yang besar, tetapi hasilnya dapat menentukan masa depan hubungan internasional di kawasan Timur Tengah dan seterusnya.