Di tengah tragedi kelaparan, pengungsian massal, dan jatuhnya korban jiwa yang terus meningkat di wilayah Gaza, militer Israel mengumumkan dimulainya “tindakan awal” serangan darat untuk merebut seluruh Kota Gaza. Juru bicara militer Israel mengungkapkan bahwa pasukan mereka telah menguasai daerah pinggiran kota dan aktif beroperasi di wilayah Zeitoun serta Jabalia sebagai persiapan untuk serangan lebih lanjut.
Pada tanggal 23 Agustus, militer Israel mengambil langkah signifikan dengan memanggil 60.000 tentara cadangan guna merambah lebih dalam ke dalam operasi di daerah-daerah padat penduduk di Gaza. Mobilisasi ini merupakan langkah yang telah disetujui oleh kepala pertahanan Israel, yang rencananya harus mendapatkan izin akhir dari kepala staf dalam beberapa hari mendatang. Rencana ini juga mencakup perpanjangan tugas bagi 20.000 tentara cadangan yang sudah dikerahkan.
Sementara itu, banyak warga Palestina memilih untuk tetap tinggal meskipun risiko serangan yang mengancam, akibat ketidakpastian akan adanya tempat aman di luar kota yang juga menghadapi kekurangan makanan, air, dan kebutuhan lainnya. Sementara Israel berambisi merebut seluruh kota, berbagai suara dari komunitas internasional menolak tindakan tersebut.
Kelompok pejuang Palestina, Hamas, menuduh Israel secara sengaja menghalangi upaya gencatan senjata untuk melanjutkan perang brutal terhadap masyarakat sipil. Seiring berlanjutnya serangan, korban jiwa semakin bertambah. Data terbaru dari Hamas menyebutkan bahwa situasi di lingkungan Zeitoun dan Sabra sangat mengkhawatirkan, dan serangan serta tembakan Israel telah menewaskan setidaknya 25 orang dalam satu hari, termasuk tiga anak berserta orang tua mereka yang menjadi korban di kamp pengungsi Shati yang dibombardir.
Di tengah kondisi yang semakin parah, Presiden Prancis mengingatkan bahwa jika rencana Israel diteruskan, akan ada bencana besar yang dapat menjerumuskan kawasan ke dalam siklus perang yang tak berkesudahan. Peringatan ini didukung juga oleh Sekretaris Jenderal PBB, yang menekankan pentingnya mengupayakan segera gencatan senjata dan pembebasan semua sandera di Gaza. Peringatan ini, meskipun dikeluarkan oleh pemimpin dunia, tampaknya diabaikan oleh Israel yang tetap bersikukuh dengan rencana penaklukan mereka terhadap Kota Gaza.
Masyarakat Palestina di Gaza kini menghadapi realitas yang menyakitkan. Saat mereka mencermati langit yang dipenuhi dengan hujan peluru, harapan untuk sebuah gencatan senjata menjadi semakin redup. Ketidakmenentuan ini hanya menambah penderitaan yang sudah dialami akibat kelangkaan bahan-bahan pokok, termasuk makanan dan air bersih. Setiap harinya, kondisi di lapangan semakin memprihatinkan, sementara dunia semakin terdengar jauh dari kepedulian langsung untuk menyelesaikan konflik yang tak kunjung usai.
Seperti yang terjadi selama beberapa dekade, konflik ini sekali lagi menyoroti betapa mendalamnya persoalan kemanusiaan yang dihadapi oleh warga Gaza. Menggugat keadilan dan ketidakberdayaan masyarakat sipil, tragedi ini mestinya menjadi panggilan bagi komunitas internasional untuk bertindak, bukannya hanya mengeluarkan pernyataan kosong yang tidak membawa perubahan nyata. Di tengah hiruk pikuk politik dan militer ini, suara-suara masyarakat yang terinjak-injak harus tetap dibangkitkan sebagai pengingat akan perlunya dialog dan solusi damai yang sesungguhnya bagi rakyat Palestina.