Pada Kamis, 19 Februari 2025, pesawat tempur Israel melancarkan serangkaian serangan udara besar-besaran di wilayah selatan dan timur Lebanon, menargetkan area strategis seperti Lembah Bekaa, distrik Baalbek, dan Jezzine. Serangan ini menandai eskalasi signifikan dalam ketegangan regional dan pelanggaran terhadap perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya.
Di wilayah selatan Lebanon, jet-jet tempur Israel melakukan serangan terhadap kota Mahmoudiyeh dan Khardali di distrik Jezzine, dengan tiga serangan yang dilaporkan. Selain itu, serangan tambahan terjadi di dekat kota Jarmaq di wilayah yang sama. Serangan-serangan ini juga menargetkan area pegunungan di timur antara Kheraybeh dan Brital, serta wilayah Shaara yang berbatasan dengan kota Janta di Bekaa. Pesawat-pesawat Israel juga menyerang kota Nasiriyah dan wilayah Tallet al-Sunduq di distrik Zahle, Bekaa. Serangan udara lainnya menargetkan pinggiran Brital, sementara dua serangan terakhir menghantam perbukitan yang membentang antara Kheraybeh dan Brital, sehingga total serangan di wilayah timur menjadi tujuh gempuran.
Hingga saat ini, belum ada informasi resmi mengenai jumlah korban yang jatuh akibat serangan-serangan tersebut. Namun, laporan-laporan sebelumnya menunjukkan bahwa serangan udara Israel di wilayah selatan Lebanon telah menyebabkan korban jiwa dan luka-luka di kalangan warga sipil. Misalnya, pada 15 Februari 2025, serangan pesawat tak berawak Israel di jalan Jarjoua di Iqlim Al-Tuffah menewaskan dua orang dan melukai tiga lainnya. Selain itu, serangan udara Israel di kota Shaara pada 26 Februari 2025 menewaskan dua orang dan melukai dua lainnya.
Serangan-serangan ini terjadi menjelang batas waktu penarikan pasukan Israel dari wilayah selatan Lebanon pada 18 Februari 2025, sesuai dengan perjanjian gencatan senjata yang disepakati pada 27 November 2024. Perjanjian tersebut mengharuskan Israel menarik pasukannya dari kota-kota yang didudukinya selama perang, sementara Hizbullah diharapkan memindahkan infrastruktur militernya dari daerah tersebut. Namun, pelanggaran terhadap perjanjian ini terus terjadi, dengan Israel meningkatkan serangan di wilayah selatan Lebanon sebelum batas waktu penarikan pasukan.
Pelanggaran terhadap perjanjian gencatan senjata ini telah menimbulkan kecaman dari berbagai pihak internasional. Qatar, misalnya, mengecam serangan udara Israel di Lebanon selatan pada 22 Maret 2025, yang menyebabkan korban jiwa dan luka-luka di kalangan warga sipil. Perdana Menteri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, menekankan pentingnya semua pihak mematuhi perjanjian gencatan senjata dan menarik pasukan pendudukan Israel dari seluruh wilayah Lebanon.
Sementara itu, situasi di Lebanon semakin tegang dengan adanya protes yang melibatkan pendukung Hizbullah pada 14–15 Februari 2025. Protes ini menyebabkan bentrokan dengan pasukan keamanan dan pasukan penjaga perdamaian PBB, yang mengakibatkan beberapa tentara Lebanon dan personel UNIFIL terluka. Serangan terhadap konvoi UNIFIL juga terjadi, termasuk pembakaran kendaraan UNIFIL di dekat Bandara Beirut. Pemerintah Lebanon mengecam serangan ini dan berjanji untuk menindak tegas para pelaku.
Secara keseluruhan, serangan udara Israel di Lebanon selatan dan timur pada Februari 2025 menambah kompleksitas situasi keamanan di kawasan tersebut. Pelanggaran terhadap perjanjian gencatan senjata dan meningkatnya ketegangan antara Israel dan Hizbullah berpotensi memperburuk kondisi kemanusiaan dan stabilitas regional. Penting bagi semua pihak untuk menahan diri dan mematuhi perjanjian yang telah disepakati guna mencegah eskalasi lebih lanjut dan memastikan perdamaian yang berkelanjutan di wilayah tersebut.