Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, melalui Kedutaan Besar RI di Maputo, kini tengah berupaya untuk memulangkan sembilan orang awak kapal warga negara Indonesia yang saat ini terjebak di sebuah kapal tanker di perairan Mozambik. Kapal tanker tersebut, yang dikenal sebagai “Gas Falcon”, pompa yang mengangkut Gas LPG, bernaung di bawah bendera Gabon dan dimiliki oleh perusahaan Gator Shipping.
Sejak awal tahun 2025, para awak kapal tersebut belum dapat keluar dari kapal, karena menghadapi sejumlah masalah serius, terutama terkait dengan gaji yang telah tertahan oleh pemilik kapal selama tiga bulan. Kondisi ini membuat para awak merasa tertekan secara finansial dan emosional. Mereka melaporkan situasi yang dialami kepada KBRI Maputo, berharap ada solusi atas permasalahan yang membelenggu mereka.
Menyikapi masalah itu, Direktur Pelindungan WNI di Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, menyatakan bahwa KBRI Maputo telah melakukan langkah-langkah untuk menyelesaikan penghambatan gaji yang dialami para awak kapal. Berkat upaya diplomatik yang dilakukan, KBRI berhasil mendapatkan penyelesaian pada bulan Februari 2025, sehingga gaji yang terutang dapat dibayarkan kepada mereka. Namun, meskipun masalah gaji telah teratasi, proses pemulangan para awak kapal tetap memerlukan langkah-langkah lebih lanjut.
Dalam situasi yang seperti ini, Kementerian Luar Negeri dan KBRI terus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk perusahaan pemilik kapal dan otoritas setempat, untuk memastikan keselamatan dan pemulangan para awak kapal tersebut. Hal ini penting, mengingat adanya berbagai tantangan hukum dan logistik di lapangan yang perlu dihadapi. Judha juga menekankan pentingnya perlindungan hak-hak tenaga kerja yang bekerja di luar negeri, terutama agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.
Pengalaman yang dialami oleh awak kapal “Gas Falcon” ini bukanlah yang pertama kalinya bagi WNI yang bekerja di sektor kelautan. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat sejumlah laporan mengenai berbagai bentuk eksploitasi yang dialami oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Kasus-kasus ini mencakup keterlambatan gaji, pemaksaan untuk bekerja dalam kondisi tidak manusiawi, hingga masalah hukum yang kompleks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peningkatan perlindungan dan pengawasan terhadap WNI yang bekerja di sektor ini.
Dalam upaya meningkatkan perlindungan, Kementerian Luar Negeri juga mendorong peningkatan kerjasama antara negara pengirim, dalam hal ini Indonesia, dengan negara tempat para pekerja berada. Melalui perjanjian bilateral dan forum-forum internasional, diharapkan dapat dibentuk mekanisme yang lebih kuat untuk melindungi hak-hak buruh migran.
Sementara itu, dalam konteks yang lebih luas, isu perlindungan tenaga kerja migran Indonesia, terutama di sektor maritim, memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Stakeholder, termasuk masyarakat sipil, pemerintah, dan swasta, perlu bersinergi untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, adil, dan bermartabat bagi para tenaga kerja yang menjadi tulang punggung perekonomian keluarga dan bangsa.
Pengalaman yang dialami oleh sembilan awak kapal ini menjadi pengingat pentingnya kesadaran akan kondisi kerja yang adil dan perlunya langkah konkret dari pemerintah serta lembaga terkait untuk memastikan bahwa hak-hak para pekerja terlindungi. Upaya Kementerian Luar Negeri dalam menyelesaikan permasalahan ini adalah langkah positif dalam menjaga reputasi bangsa dan memberikan perlindungan bagi warganya di luar negeri.
Dengan berjalannya waktu, diharapkan para awak kapal tersebut segera dapat kembali ke tanah air dan keluarga mereka dengan selamat, sekaligus memberikan pelajaran berharga bagi semua pihak tentang pentingnya perlindungan terhadap tenaga kerja migran. Keterlibatan semua elemen, mulai dari pemerintah hingga masyarakat, akan sangat vital dalam memastikan masa depan yang lebih baik dan lebih aman bagi pekerja Indonesia di luar negeri.