Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Christina Aryani, baru-baru ini menjalin komunikasi dengan PT Tenhal mengenai kesempatan kerja sama dalam penempatan pekerja migran Indonesia di negara-negara Eropa Timur. Dalam pernyataannya, Christina menegaskan pentingnya dialog antara pemerintah dan sektor swasta sebagai upaya untuk memperluas akses penempatan pekerja ke pasar global. Fokus utama dari PT Tenhal adalah menempatkan pekerja Indonesia di negara-negara seperti Slovakia, Polandia, Bulgaria, Turki, Kroasia, Republik Ceko, dan Hungaria.
Christina menyampaikan harapannya bahwa PT Tenhal dapat berperan signifikan dalam memperluas peluang penempatan di sektor-sektor yang formal, aman, dan terverifikasi. Saat berbicara dengan Abetnego Tarigan, Co-Founder PT Tenhal, di kantor Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, dia menekankan bahwa lembaga ini memiliki komitmen untuk membantu pemerintah dalam mencapai tujuan tersebut.
Abetnego juga mengungkapkan bahwa saat ini, lembaganya tengah berupaya memperluas kesempatan penempatan pekerja Indonesia, terutama di sektor industri, baik manufaktur maupun jasa. Ia mencatat bahwa pada periode 2025 hingga 2026, terdapat peluang penempatan yang sangat terbuka. Selain itu, ia meramalkan adanya 1.500 lowongan kerja yang akan bisa dimanfaatkan oleh pekerja migran Indonesia dalam waktu dekat. Permintaan tenaga kerja dari Indonesia pun diakuinya semakin meningkat, khususnya di sektor perhotelan dan industri.
Namun, Abetnego tidak menutup mata pada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam proses penempatan. Salah satunya adalah perlunya verifikasi yang cepat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia terkait job order, yang dinilai penting untuk menjaga efisiensi dan keandalan proses rekrutmen. Ia menjelaskan, lambatnya verifikasi dapat menghambat rantai penempatan secara keseluruhan dan berdampak pada perusahaan lain di sektor yang sama.
Selain itu, ia menyoroti perubahan skema pembiayaan yang kini diterapkan oleh banyak negara Eropa, di mana negara tujuan semakin jarang menanggung biaya penempatan. Hal ini bertentangan dengan masih adanya persepsi di masyarakat Indonesia yang berharap penempatan pekerja migran bebas biaya. Christina kemudian menerangkan bahwa skema bebas biaya hanya berlaku untuk sektor domestik—seperti pekerja rumah tangga—sementara untuk sektor industri, regulasi saat ini mengizinkan adanya biaya terkait tiket dan visa.
Dalam pertemuan tersebut juga dibahas isu para pekerja migran Indonesia yang sudah berada di Eropa namun belum terdaftar secara resmi. Abetnego menjelaskan bahwa banyak dari mereka terjebak dalam situasi hukum yang tidak pasti karena tidak mengikuti prosedur yang benar. Christina memastikan bahwa pemerintah telah menyiapkan mekanisme untuk membantu mereka mendapatkan legalitas dengan penerbitan Kartu Pekerja Migran Indonesia tanpa harus kembali ke tanah air, yang seringkali menjadi kendala besar akibat biaya yang tinggi.
Dukungan ini dianggap penting agar para pekerja non-prosedural bisa beralih ke jalur resmi tanpa harus pulang ke Indonesia. Kini, ada kemungkinan untuk mendapatkan legalitas di negara tujuan secara langsung, memberi harapan baru bagi banyak pekerja migran. Dalam semangat kerja sama, Abetnego menawarkan komitmen PT Tenhal untuk berkolaborasi dengan Kementerian dalam menyosialisasikan regulasi baru dan memperkuat kompetensi pekerja. Menurutnya, ini adalah kesempatan luar biasa untuk menunjukkan potensi sumber daya manusia Indonesia di pasar global.
Proses penempatan pekerja migran Indonesia ke Eropa Timur adalah langkah strategis dalam mengatasi masalah pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keterlibatan aktif sektor swasta dalam mendukung upaya pemerintah menjadi kunci dalam menciptakan peluang yang berkelanjutan. Dengan adanya kemitraan yang sinergis, diharapkan pekerja Indonesia bisa meningkatkan kualitas hidup mereka melalui penempatan yang sesuai dan terjamin.