Wamenlu Indonesia Tekankan Hukum Internasional dalam Negosiasi Subsidi Perikanan WTO

by -11 Views
[keyword]bitcoin[/keyword]

Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, Arif Havas Oegroseno, mengungkapkan pandangannya tentang pentingnya penegakan tatanan berbasis hukum internasional dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia. Dalam diskusi publik bertajuk “Pandangan Kebijakan Luar Negeri Jerman di Indo-Pasifik” yang berlangsung di Jakarta, Havas menyampaikan pandangannya di hadapan Menteri Luar Negeri Jerman, Johann Wadephul, serta para peserta lainnya.

Dalam pidatonya, Havas menekankan bahwa tatanan berbasis hukum internasional merupakan prinsip kunci namun saat ini tengah menghadapi tantangan serius. Dia mengamati adanya kecenderungan manipulasi terhadap hukum internasional, yang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Menurutnya, salah satu isu yang tengah diperdebatkan dalam WTO adalah mengenai subsidi untuk sektor perikanan. Dia menyoroti bahwa ada frasa “praktik historis” yang telah berhasil disisipkan ke dalam pembahasan negosiasi, yang dapat memberikan celah bagi beberapa negara untuk memberikan subsidi kepada nelayan yang beroperasi di luar jurisdiksi mereka.

Havas menjelaskan bahwa WTO tampaknya belum sepenuhnya memahami realitas geopolitik yang terjadi di kawasan, termasuk di Indonesia. Dia menunjuk pada fakta bahwa banyak negara berusaha mengklaim “praktik historis” dalam upaya mendapatkan dukungan subsidi, sementara Indonesia memiliki bukti praktik sejarah perikanan yang dapat ditelusuri hingga abad ke-2. Hal ini, menurutnya, menjadi ancaman serius yang perlu dihentikan segera.

Melihat dinamika ini, Havas mengajak tim perunding Jerman dalam negosiasi subsidi perikanan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap nilai dan substansi dari pembahasan tersebut. Ia menjelaskan bahwa walaupun negara-negara sering kali menekankan pentingnya hukum internasional, implementasinya dalam negosiasi sering kali tidak memperhitungkan dampak yang mungkin timbul terhadap negara-negara yang lebih kecil dalam proses tersebut.

Indonesia sendiri belum meratifikasi perjanjian yang dihasilkan dari Konferensi Tingkat Menteri ke-12 WTO di Jenewa pada tahun 2022, di mana dua dari tiga pilar subsidi perikanan telah disepakati. Pilar pertama berfokus pada penanggulangan praktik perikanan ilegal, tidak terlaporkan, dan tidak diatur, sedangkan Pilar kedua menyentuh isu kelebihan penangkapan. Dalam konteks ini, kesepakatan yang mengatur subsidi perikanan dianggap sebagai langkah signifikan menuju keberlanjutan laut dengan melarang subsidi yang merugikan.

Namun, ketidakpastian muncul ketika membahas implementasi perjanjian. Pasal 18 UU 7 Tahun 2016 di Indonesia menggarisbawahi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dalam menyediakan infrastruktur untuk sektor perikanan. Ini menunjukkan bahwa jika perjanjian WTO disepakati, pemerintah Indonesia akan kehilangan wewenang untuk memberikan dukungan atau subsidi kepada nelayan lokal. Implikasinya cukup dalam, sebab keputusan ini berkaitan langsung dengan mata pencaharian banyak masyarakat pesisir yang bergantung pada sektor perikanan.

Dengan demikian, pembahasan di WTO tidak hanya merupakan negosiasi teknis, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan ekonomi yang vital bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Havas menyerukan agar diskusi ini melibatkan lebih banyak suara dari negara-negara dengan kepentingan yang berbeda, demi menghasilkan kesepakatan yang lebih adil dan berkelanjutan. Pentingnya keterlibatan aktif semua pihak dalam perundingan adalah kunci untuk menciptakan sistem perdagangan internasional yang tidak hanya adil tetapi juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat.

Dalam era di mana geopolitik dan kepentingan nasional sering kali beririsan dengan aspek hukum internasional, kebijakan luar negeri harus berpihak kepada keberlanjutan dan kesejahteraan regional. Menyikapi situasi ini, Indonesia terus berupaya untuk memastikan bahwa suara dan kepentingan nelayan lokal diperhatikan, serta tidak terabaikan dalam negosiasi internasional yang sangat kompleks ini.